Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Bijak Menyikapi Pilihan Alih Profesi, dari Karyawan Jadi Pengusaha

15 Oktober 2021   06:59 Diperbarui: 16 Oktober 2021   18:09 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah amaran mengambil kontrak kerja mengakibatkan rugi. Sekaligus membawa arti positif. Saya kehilangan uang tiga juta perak, tapi momentum itu membuka pintu cakrawala baru.

Begini kisahnya.

Saya merintis usaha pada saat masih berkantor, bekerja di bawah kendali kebijakan satu perusahaan. Di celah-celah waktu kerja, mencuri kesempatan untuk menjelajahi usaha pengadaan barang.

Pertama kali berkegiatan adalah pengadaan papan penunjuk. Rambu itu, terbuat dari pelat alumunium ditempeli reflective sheet, dipasok sebagai kelengkapan untuk mempercantik lingkungan sebuah kantor BUMN. Enviromental signage yang dipasang dalam rangkaian acara peluncuran satelit oleh Presiden ke 6 Republik Indonesia.

Berikutnya lebih fokus. Saya meninggalkan ruang nyaman bergaji bulanan untuk berkarya penuh pada kegiatan usaha. Perubahan orientasi (arah, tujuan, habituasi) pekerjaan. Konsekuensi dihadapi: berurusan dengan modal, mental, risiko, dan pergantian komitmen. Suatu tindakan alih profesi.

Dalam masa itu, proyek pertama adalah pengadaan mebeler (bangku-meja siswa dan guru, papan tulis, serta lemari) sekian lokasi SD Negeri sebuah kabupaten. Sukses. Beberapa kali memperoleh repeat order.

Satu saat, saya sedang berada di Dinas Pendidikan (Disdik) dalam rangka penagihan. Kawan, seorang pemborong senior, menelepon, "halo, lagi di Disdik ya? Tolong ambilkan kontrak di Pak Anu."

Pak Anu mengambil sebuah map berwarna hijau tumpukan, "lengkapi dengan RAB!"

Saya mengernyitkan dahi, "rab itu mahkluk apa, pak?"

Maka mulut sedang menjepit rokok membara, "masak pemborong tidak tahu RAB?"

Ternyata kontrak, atau Surat Perintah Kerja (SPK) konstruksi itu belum lengkap. Dokumen komplit mutlak dibutuhkan dalam proses pencairan dalam waktu singkat. Kalau tidak, uangnya bakal carried forward ke tahun depan (istilah para pemborong: luncuran). Keadaan itu disampaikan kepada pemberi amanat. 

Gustavo, sebutlah namanya demikian, meminta saya agar membantu dalam penagihan, dengan iming-iming proyek pembuatan WC di sebuah SD. Biaya berkenaan dengan proses tagihan diberikan oleh Gustavo.

Dengan berbagai cara dalam waktu super cepat saya mengumpulkan berkas RAB. Saya menghubungi teman insinyur, konsultan, dan banyak pihak yang mengerti pembuatan RAB.

Ternyata penyusunan Rencana Anggaran Belanja (RAB) itu merupakan hitungan rumit berkaitan dengan pembangunan fisik. Kemudian saya ketahui bernama resmi: Daftar Kuantitas dan Harga (DKH). Biasanya dikuasai oleh mereka yang berlatar belakang ilmu sipil, teoritis maupun praktis. Saya tidak. Ruwet kan?

Bagaimana menyikapinya?

Berpikir tenang, lalu berupaya mengumpulkan berkas serupa. Diketahui, Proyek Rehabilitasi Ruang Kelas berjumlah beberapa. Rancangan, spesifikasi, dan hitungan mestinya sama. Hanya sedikit berbeda di nilai proyek.

Saya menyalin-tempel RAB itu dan lampirannya, bahkan beberapa lembar difotokopi dengan mengganti logo perusahaan dan tanda tangan Direktur. Jadilah RAB atau DKH.

Mirip, tapi bila diteliti akan banyak detail keliru. Yang penting, "muka" atau lembar awal sesuai dengan nilai kontrak. Akhirnya dokumen tersebut diterima sebagai kelengkapan pencairan.

Bagaimana dengan biaya penagihan diberikan?

Gustavo berasumsi bahwa besaran biaya penagihan tidak melebihi dua persen dari nilai kontrak, atau setara dengan Rp2 juta rupiah. Pada praktiknya, saya menghabiskan Rp5 juta dalam prosesnya.

Kelebihan tersebut disebabkan, antara lain, oleh:

  • Commitment fee senilai 2,5 juta;
  • Uang rokok (dianggap lumrah dalam birokrasi) di setiap meja untuk tanda tangan dan minta pemeriksaan berkas;
  • Amplopan untuk wartawan atas arahan Gustavo. Pada proyek-proyek pemerintah lumrah jurnalis abal-abal seperti itu merubung, terutama saat penagihan.
  • Dalam perjalanan, kadang Gustavo minta dibelikan pulsa atau rokok dengan tidak mengganti biaya pembelian.

Pengeluaran-pengeluaran tersebut tercatat secara rapi, disampaikan kepada Gustavo setelah hasil penagihan masuk ke rekening perusahaannya.

"Kurang tiga juta ya? Entar deh Itung-itungannya. Gampang itu."

Sampai tulisan ini dibuat, "gampang itu" tidak terealisasi. Ya sudahlah, anggap saja biaya belajar

Sejak itu saya benar-benar mendalami seluk-beluk perhitungan konstruksi. Selama proses pendewasaan tersebut, saya menggali ilmu dari:

  • Pemborong berpengalaman. Sayangnya, Gustavo tidak mengalihkan pengetahuan kepada saya.
  • Konsultan perencana maupun pengawas.
  • Teman lulusan STM (sekarang: SMK) bangunan atau insinyur sipil, yang notabene menguasai ilmu sipil.
  • Para tukang, mandor, dan pekerja terampil bidang bangunan.

Pemahaman, pengetahuan, dan kebiasaan itu akhirnya membawa saya untuk menekuni dunia konstruksi. Dalam kapasitas tertentu, saya sudah mampu membaca gambar, merakit RAB, menjadi pelaksana lapangan, dan seterusnya.

Satu lagi keputusan alih profesi. Mengubah orientasi pekerjaan, dari pengusaha pengadaan barang ke bidang konstruksi.

Peralihan-peralihan tersebut mesti disikapi dengan cermat, juga bijak. Butuh kekuatan mental dan kemauan keras untuk belajar.

Saya akan meyakinkan Anda: satu bidang pekerjaan di luar pengetahuan atau keahlian menjadi sangat mungkin Anda kelola, jika memiliki kemauan.

Faktor kekuatan mental dan kemauan keras pastinya tidak berdiri sendiri. Ia dibangun dari berbagai unsur serba berkaitan di seputar kedua perkara tersebut, seperti:

  1. Niat Kuat. Tanpa ini, lupakan melakukan perubahan orientasi pekerjaan.
  2. Tidak Gampang Putus Asa. Memahami hal baru memang sulit, tapi ada banyak cara untuk mencapainya.
  3. Mengambil Risiko. Siap menerima kecanggungan hingga kerugian, akibat ketidak-tahuan dalam bidang baru.
  4. Yakin terhadap Jalan Dipilih. Maknanya, memiliki rasa percaya diri tinggi. Tapi jangan juga terlalu angkuh, sehingga merasa jumawa, enggan belajar dari orang lain. Ntar gak pinter pinter.
  5. Kreatif dan inovatif. Sikap ini wajib dimiliki oleh yang berani menantang perubahan.
  6. Selalu Optimis. Memandang masa depan dengan mengubur kekecewaan pada masa lalu. Anggap itu sebagai pengalaman positif. Joke di kalangan pemborong: kemarin memiliki uang dua ratus juta, hari ini tinggal dua puluh ribu.
  7. Senantiasa berdoa.

Pengalaman-pengalaman itulah yang hendak saya bagikan kepada sidang para pembaca. Semoga dapat diambil hikmahnya.

Upaya penagihan atas proyek milik orang lain itu memang membuat saya kehilangan uang, tetapi 'ketidak-sengajaan' itu menjadi momentum penting bagi saya dalam berkegiatan di dunia konstruksi.

Akhirul Kata

Perubahan orientasi pekerjaan bisa saja dibuat dengan sengaja, atau muncul karena 'ketidak-sengajaan' semata. Alterasi itu sangat mungkin menimbulkan gejolak dalam diri, sehingga ia harus disikapi dengan bijak.

Untuk itu dibutuhkan kekuatan mental dan kemauan keras, bersama dengan niat, tidak mudah berputus asa, berani ambil risiko, yakin atas pilihan, kreatif, inovatif, serta sikap optimis.

Begitulah cara saya menyikapi dengan bijak keputusan alih profesi yang membawa kepada perubahan orientasi pekerjaan. Tidak meledak-ledak.

Setiap perubahan, bahkan perubahan menjadi lebih baik, selalu disertai dengan kekurangan dan ketidaknyamanan - Arnold Bennett

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun