Sembari menyeruput sesendok kuah santan berwarna kemerahan, seorang pria berambut pendek menyatakan penyesalannya.
“Padahal tadi sarapan nasi goreng di rumah. Eh, lihat lontong sayur, lha kok jadi kepingin,” sepotong buras isi oncom turut masuk ke dalam mulutnya. Selanjutnya, perkedel dan tempe.
Seusai mereguk segelas teh tawar hangat, ia melahap sepotong pisang goreng, "makanan penutup.”
Sebagian pembeli duduk makan di tempat. Lainnya, berdiri ibu-ibu, juga pengendara yang tetap duduk di jok motor, menunggu pesanan.
Mereka mengelilingi sebuah warung, berupa tiga meja kayu disusun berbentuk huruf “U” dikelilingi setengah lusin bangku plastik berwarna cokelat.
Sebuah pohon besar serta rindang, entah apa namanya, memayungi warung temporer tanpa dinding tersebut.
Penjualan aneka sarapan pagi itu tadinya menempati bangunan tembok ber-rolling door di dekatnya. Apa boleh buat, ia tersingkir, tapi tidak menjadikannya tersungkur.
Baca: Tersingkir, tetapi Tidak Tersungkur
Pergeseran tempat, malahan membuatnya semakin berjaya, dengan penambahan ragam produk maupun peningkatan jumlah pelanggan.
Wanita paruh baya itu, dibantu seorang asisten, berdagang sejak selepas waktu subuh sampai dengan kisaran pukul 10 pagi.
Warung Ema, tertulis pada selembar spanduk mungil, menjual: gado-gado, ketoprak, lontong sayur, dan gorengan. Praktiknya, selain dari yang tertulis, ia menjual serba serbi penganan, yakni:
- Nasi uduk berikut pelengkapnya, seperti irisan telur dadar, tongkol balado, tahu putih goreng, perkedel, orek/oseng tempe, acar, kerupuk.
- Doclang (terdiri dari, irisan lontong, tahu goreng, kerupuk, dan bumbu kacang).
- Bihun goreng.
- Pisang rebus.
- Buras (lontong kecil) isi oncom.