"Pesan pecel tanpa lontong satu porsi."
"Sudah habis. Ini yang tersisa sudah dipesan orang," ujar ibu berusia kisaran 60 tahun sambil mengulek bumbu kacang, lalu mengisinya dengan irisan lontong dan tahu.
Pada pukul 9 pagi itu, dua bungkus doclang berpindah tangan ke seorang ibu muda.
"Pesan apa?"
Spanduk di depan warung bersahaja menyatakan: "Nasi Kuning Ibu Aisyah, menyediakan Lontong Sayur, Ketoprak, & Pecel."
"Seperti pesanan embak tadi."
Perlu diketahui, paling tidak ada dua versi doclang yang beredar di Bogor.
- Dengan bumbu kacang goreng, cabai, garam, gula merah yang diulek mendadak. Jenis ini banyak tersedia di warung kecil.
- Dengan saus kacang goreng halus yang dimasak bersama bumbu lainnya.
Dua jenis doclang di atas isinya kurang lebih sama: lontong dan tahu. Versi yang lebih luks, ditambahkan telur rebus dan irisan kentang. Penganan ini terdapat di pusat kota dan warung penjual pecel. Untuk yang ngider alias penjaja doclang keliling sudah jarang ditemui.
Baca juga:Â Doclang, Jajanan Keliling yang Kian Menghilang
Nah, usaha mikro Ibu Aisyah juga menyediakan doclang. Berbeda dengan penjual lainnya, nenek itu membuat bumbu dengan cara lama.Â
Selain cabai, garam, gula merah, dan air (kemungkinan perasan jeruk nipis ditambah air matang), ia menambahkan kentang rebus digoreng ke dalam ulekan bumbu kacang.
Make a difference! Ibu dari 7 orang anak itu membuat bumbu doclang menjadi berbeda dengan penjual doclang lainnya. Demikian pula dengan bumbu pecelnya. Terasa lebih lembut dan gurih. Mengingatkan saya pada bumbu doclang ulek atau pecel pada tahun 1980-an.
Baca juga:Â Pentingnya "Make a Difference" dalam Bisnis Kuliner
Bukan keunggulan itu yang akan dibahas, tetapi tentang daya tahan nenek bercucu 17 dalam menjalankan usaha mikronya, apalagi di masa pandemi sekarang ini.
Berapa lama Ibu Aisyah menjalankan usaha penjualan Nasi Kuning, Lontong Sayur, Ketoprak, dan Pecel?
Menurut penuturan, Ibu Aisyah sudah berjualan sejak masih gadis. Diperkirakan saat menikah ia berusia sekitar 20 tahun atau bahkan kurang.
Dengan demikian, Ibu Aisyah telah berdagang sekurang-kurangnya selama 40 tahun. Dengan produk sama. Dengan komposisi dan cara-cara mengolah yang serupa.
Ketaatasasan (konsistensi) itulah yang membuatnya bertahan berjualan produk yang sama selama lebih dari empat dekade.Â
Konon, menurut penuturan pelaku usaha berpengalaman, sebuah bisnis mencapai titik kemapanan setelah 15 tahun. Ia sudah ajek. Tidak gampang goyah.
Para pakar kewirausahaan dan tokoh lembaga keuangan banyak menuliskan resep agar usaha mampu bertahan lama. Umpamanya:
- Menjaga kualitas produk.
- Dipercaya oleh pembeli.
- Memiliki pelanggan setia.
- Punya ciri khas.
- Berinovasi dan kreatif.
- Meng-upgrade diri mengikuti perkembangan zaman.
- Menjaga cashflow agar tetap sehat.
- Memahami perubahan perilaku konsumen.
- Meninjau ulang customer profile. Menyesuaikan customer relationship strategy.
- Merencanakan ulang pendapatan dan memangkas biaya.
- Meningkatkan efisiensi.
- Dan seterusnya (selanjutnya dapat dibaca di kompas.com).
Disadari atau tidak, barangkali Ibu Aisyah menjalankan sebagian dari ikhtiar-ikhtiar di atas.
Selama menjalankan usaha, Ibu Aisyah dibantu penuh oleh suami. Dengan kata lain, pria itu tidak berdinas di mana pun, tetapi mendedikasikan hidupnya pada usaha perdagangan istrinya.
Suami istri tampak berwajah cerah ceria dan sehat. Pada hari Minggu kemarin, sebagian anak dan cucunya berkumpul di warung. Sesekali tetangga yang lewat ditawari oleh ibu Aisyah nasi kuning bungkus.
Ternyata penjual nasi kuning itu kerap mendermakan makanan yang dijualnya. Pada saat penjualan merosot, barang dagangan yang tidak habis terjual dibagikan kepada para tetangganya.
Tidak rugi?
Ibu Aisyah berkeyakinan, membagikan makanan kepada orang lain adalah suatu berkah.
"Jangan terlalu mengkhawatirkan segala hal, rezeki sudah diatur. Tidak perlu bersedih atau mengeluh ketika ia belum datang."
Tidak ada pengembangan usaha, dengan membesarkan warung atau membuka cabang?
"Dengan usaha ini, sudah cukup untuk mengantar anak-anak kepada kehidupannya sendiri. Tidak berlebihan, tapi cukup. Apa lagi yang mesti dicari?"
Terbang sudah di kepala saya teori-teori tentang cost of good sold, net income, mengatur cashflow. Hilang pula pertimbangan-pertimbangan inovasi, upgrade kemampuan, adaptasi terhadap market, menyesuaikan strategi hubungan pelanggan.
Agar usaha mikro terus langgeng, Ibu Aisyah mengajarkan: ketaatasasan dalam berusaha, menjaga kualitas, berlaku ramah dan tulus kepada siapa saja, ikhlas berbagi, meyakini bahwa rezeki sudah diatur, dan tidak mengeluh atau sebentar-sebentar protes kepada keadaan. Ia bukan penganut fatalisme.
Tidak neko-neko, sehingga usaha mikro milik Ibu Aisyah mampu bertahan selama lebih dari empat puluh tahun.
Itulah pelajaran yang saya dapatkan, ketika menghabiskan doclang di warung tepian jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H