Selama menjalankan usaha, Ibu Aisyah dibantu penuh oleh suami. Dengan kata lain, pria itu tidak berdinas di mana pun, tetapi mendedikasikan hidupnya pada usaha perdagangan istrinya.
Suami istri tampak berwajah cerah ceria dan sehat. Pada hari Minggu kemarin, sebagian anak dan cucunya berkumpul di warung. Sesekali tetangga yang lewat ditawari oleh ibu Aisyah nasi kuning bungkus.
Ternyata penjual nasi kuning itu kerap mendermakan makanan yang dijualnya. Pada saat penjualan merosot, barang dagangan yang tidak habis terjual dibagikan kepada para tetangganya.
Tidak rugi?
Ibu Aisyah berkeyakinan, membagikan makanan kepada orang lain adalah suatu berkah.
"Jangan terlalu mengkhawatirkan segala hal, rezeki sudah diatur. Tidak perlu bersedih atau mengeluh ketika ia belum datang."
Tidak ada pengembangan usaha, dengan membesarkan warung atau membuka cabang?
"Dengan usaha ini, sudah cukup untuk mengantar anak-anak kepada kehidupannya sendiri. Tidak berlebihan, tapi cukup. Apa lagi yang mesti dicari?"
Terbang sudah di kepala saya teori-teori tentang cost of good sold, net income, mengatur cashflow. Hilang pula pertimbangan-pertimbangan inovasi, upgrade kemampuan, adaptasi terhadap market, menyesuaikan strategi hubungan pelanggan.
Agar usaha mikro terus langgeng, Ibu Aisyah mengajarkan: ketaatasasan dalam berusaha, menjaga kualitas, berlaku ramah dan tulus kepada siapa saja, ikhlas berbagi, meyakini bahwa rezeki sudah diatur, dan tidak mengeluh atau sebentar-sebentar protes kepada keadaan. Ia bukan penganut fatalisme.
Tidak neko-neko, sehingga usaha mikro milik Ibu Aisyah mampu bertahan selama lebih dari empat puluh tahun.