Wajah gadis berkulit pualam itu merona, tersipu lalu memperhatikan seprai yang berantakan.
"Ngomong-ngomong, serpihan kecokelatan ini melati ya?"
"Iya. Setiap pagi aku menaburkan bunga-bunga beraroma wangi di atas ranjang," kata Genta, "bunga-bunga putih itu aku petik dari halaman."
"Jadi, di halaman ada tumbuhan melati?"
"Iya. Sejak dulu. Sedari aku belum ada di dunia ini."
" Persis seperti di rumahku. Maksudku, di rumah ibuku di sana. Demikian cintanya kepada bunga itu, ia memberiku nama: Melati," mata gadis itu menerawang.
"Ibuku dan kemudian aku terbiasa menaburkan melati yang dipetik dari halaman ke atas ranjang. Tapi ...," wajah eloknya mendadak sendu, memancarkan pilu.
Genta bangkit, hendak menyalurkan rasa aman dan nyaman kepada Melati.
Sontak sebuah kesadaran membuat lidah kelu. Gadis itu menatap ganjil kepada Genta. Kedua pasang mata berpandangan lekat.
Mata itu!
Melati tergolek di atas ranjang dengan memancarkan sorot mata teduh nan syahdu yang tidak pernah dilupakannya, meski nyaris terbenam terseret gelapnya arus samudera kenangan.