Seusai melakukan rehabilitasi rumah, teronggok puing bekas bongkaran bagian-bagian bangunan lama. Ia merupakan "sampah" padat yang sudah tidak terpakai lagi dan tidak ada ruang di sekitar rumah yang perlu diuruk. Mau tidak mau harus dibuang ke luar.
Ke mana membuangnya?
Kadang ada tulisan "menerima buangan puing" di suatu tempat, tetapi saat diperlukan, lahan semacam itu tidak ketemu atau tidak lagi menampung puing.
Selain puing berupa bongkahan, terdapat pula potongan-potongan kayu lapuk.
Tiadanya tempat butuh diuruk dan pembuangan kayu lapuk, maka ia menjadi persoalan tersendiri yang memusingkan kepala. Bayangkan, sekitar 3 meter kubik puing dan 2 meter kubik kayu potongan mesti disingkirkan, entah ke mana.
Tidak mungkin kan ditimbun begitu saja di halaman? Atau, barangkali ada proyek butuh puing untuk urukan?
Jumlah 3 kubik terlalu sedikit untuk keperluan urukan di proyek. Lagi pula, proyek pemerintah tidak membolehkan urukan yang berasal dari puing.Â
Kenapa?
Proyek memprioritaskan tanah asli, yaitu tanah bekas galian setempat sebagai bahan urukan. Asalnya sama.
Boleh memakai tanah dari tempat lain, sepanjang merupakan tanah bersih. Bebas dari partikel-partikel gampang lapuk, batuan berdiameter lebih besar dari 10 cm, sampah, dan lumpur. Tanah merah dan cadas dianggap tanah uruk baik.
Nah, puing termasuk unsur mengandung bahan mudah lapuk (seperti potongan kayu) dan bongkahan besar melampaui ukuran diperkenankan, sehingga ia kurang baik untuk urukan. Terlalu porous, atau berongga di mana satu saat tanah urukan akan ambles.
Kadang saya menggunakan puing pada lapisan bawah urukan proyek. Barulah di atasnya ditutup (disamarkan) dengan tanah merah atau cadas.
Nyolong? Iya juga. Itu untuk menyiasati (baca: mengurangi) biaya mahal urukan dengan kubikasi banyak. Puluhan kubik urukan menggunakan puing, lumayan kan selisihnya. Tapi jangan ditiru ya!
Puing juga memiliki sifat unik. Untuk kebutuhan urukan, kita harus membelinya seharga Rp300 ribu/rit)*. Membuangnya, kita mesti bayar juga sekitar Rp250 ribu/rit)*. Buang atau butuh puing, sama-sama mengeluarkan biaya.
Mengatasi timbulnya pusing memikirkan pembuangan puing, maka tindakan-tindakan yang saya lakukan adalah:
- Menghubungi perusahaan jasa spesialis pemasok/penampung puing. Di Bogor dikenal dengan nama Angtapu, angkutan tanah dan puing.
- Pastikan volume puing mengikuti daya muat truk puing (sekitar 3,5-4 M3). Mengingat hitungan pembayaran bukan berdasarkan kubikasi, tetapi truk (ritasi).
- Menyalurkan potongan kayu ke pabrik tahu, yang diperlukan untuk bahan bakar.
- Usahakan jumlahnya memenuhi bak pickup, agar kayu dijemput oleh mobil pabrik. Menurut pengalaman, potongan kayu sejumlah itu akan dibayar sebesar 100 ribu)* rupiah.
- Di bawah volume bak pickup, terpaksa kita mengantarkan sendiri ke pabrik tahu. Nilai imbalan tidak diketahui.
Puing dan potongan kayu bekas bongkaran menumpuk begitu saja di halaman rumah menyebabkan sakit kepala. Maka lakukan langkah-langkah sederhana di atas, agar puing teronggok tidak membuat pusing.
Semoga bermanfaat.
)* Catatan: harga-harga adalah indikasi, keadaan bisa berbeda di daerah lain.
Baca juga:Â Begini 5 Kiat Memilih Tukang untuk Renovasi Rumah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI