Setiap karyawan menghendaki bekerja di bawah pemimpin, atasan, atau bos yang baik. Sebaliknya, bos umumnya menginginkan agar ia disukai bawahan.
Ketika pertama kali bekerja, saya mendapatkan bos yang berpenampilan keren, baik, dan penuh perhatian. Dalam perjalanan, diketahui beliau kurang begitu menguasai segi teknis.
Pada periode berikutnya, setelah ditarik ke kantor pusat, saya berturut-turut berada di bawah kepemimpinan tiga bos berlainan, dengan karakter berbeda pula.
Pertama, almarhum Munawar Ahmad (bapaknya Raffi Ahmad) merupakan bos asyik. Meski masih dalam koridor profesionalisme, beliau bukan pribadi jaim, tidak berjarak dengan bawahan dalam pergaulan sehari-hari.
Kerennya, pada akhir pekan saya boleh memakai mobil dinasnya, setelah mengantarnya pulang ke Bandung.Â
Jeleknya, saya kerap menghabiskan waktu --nyaris setiap malam-- menemani beliau yang cenderung insomnia. Besoknya, saya terbirit-birit ke kantor agar kartu kehadiran tidak dicetak merah oleh mesin Amano. Sementara bos boleh datang siang.
Kedua, memiliki bos pandai yang menguasai ilmu perkreditan. Boleh dibilang ia merupakan "jantung" dari perusahaan.Â
Saya banyak memperoleh ilmu dari beliau. Seremnya, ia sangat temperamental. Gampang meledak, tanpa melihat tempat dan situasi.
Kali ketiga, memperoleh bos yang pendiam dan jaim. Saya kurang begitu dekat, karena kesempatan bertemu dengannya hanya pada saat briefing pada pukul setengah tujuh pagi. Semua urusan teknis diserahkan kepada tim.
Beliau bukan hanya direktur di perusahaan tersebut, tetapi di banyak perusahaan lain. Menantu Ibnu Sutowo itu demikian sibuk.
Setelah pindah ke perusahaan lain, saya memiliki bos yang sepantaran. Orangnya pandai, disiplin, dan rajin. Oleh karenanya ia menjadi disegani pegawai.