Agar penyerapan dalam sistem drainase berfungsi maksimal, pasir, kerikil, geo-textile dan tanah yang sudah ditentukan jenis dan ukurannya. Untuk itulah aku memilih separuh pasokan dari supplier luar yang sudah teruji mutunya, setengah lagi dipasok oleh warga lokal supaya situasi berlangsung kondusif.
Warga lokal menugaskan Pak Maman sebagai penanggung jawab pemasokan bahan dasaran tersebut. Pada tahap pertama, suplai pasir dari pria berkumis tebal itu cukup meyakinkan. Berikutnya adalah tahap pengiriman kerikil.
Berbeda dengan batu pecah (split), kerikil merupakan batu bulat alami hasil kikisan air. Batu kerikil tidak saling mengikat atau tidak mudah pecah hingga menyebabkan lapisan padat, penyebab mampat proses penyerapan air. Air tergenang lekas surut.
Di toko bangunan ia nyaris tidak tersedia. Ada juga di penjual tanaman hias, batu kerikil warna-warni dari Bengkulu, tetapi harganya terlalu mahal untuk proyek. Batu kerikil biasanya banyak terdapat di aliran sungai yang cukup derasnya. Pemasok bahan kerikil mesti cermat.
Pak Maman mengirim sampel yang kemudian aku tolak, sebab tidak memenuhi spesifikasi. Setelah sekian kali, barulah kerikil memenuhi syarat. Dua puluh truk awal, pengiriman sesuai contoh diajukan.
Pemeriksaan pada truk ke-21 memacu darah merambat naik ke kepala. Mendorong energi marah, "muatan jangan dulu turun. Panggil Pak Maman, sekarang!"
Tak butuh lama, pria paruh baya yang masih bersarung datang tergopoh-gopoh, "ada apa Pak?"
"Bagaimana sih? Kerikil dikirim tidak sesuai contoh! Saya gak mau barang begini!"
"Tapi kerikil di tiga truk ini sudah terlanjur dibayar."
"Tidak peduli. Pokoknya saya tidak mau terima. Titik!"
Ayah berputri manis itu menggamit lenganku.Â