Rudolfo membalas dengan senyum, "pulang ke mana Mbak?"
"Stasiun akhir, Bogor."
"Sama dong," tukas Rudolfo sambil mengangsurkan satu botol air mineral. Satu lagi ditenggaknya demi membasahi tenggorokan kering.
KRL beranjak malas, setelah satu jam lebih terlantar di stasiun kecil. Irama ketukan roda-roda besi di atas rel besi kembali mengalun. Semakin lama semakin cepat.
Dua sejoli berbincang akrab. Ternyata gadis yang sudah tidak pucat lagi merupakan pribadi yang menyenangkan. Rudolfo yang biasanya terbata-bata di hadapan seorang gadis, mampu berbicara lancar. Gadis itu tipikal senang bicara. Barangkali karena timbul rasa percaya terhadap pria penolong. Ia tampak gembira.
Hati Rudolfo serasa bertumbuh taman bunga. Perasaan yang mengkonfirmasi bahwa gadis itu adalah wanita idaman yang selama ini dicarinya. Sepertinya ia juga menaruh hati kepada Rudolfo.
"Naik KRL penuh suka duka."
"Seperti apa?"
"Sukanya ..., banyak jajanan. Barang ditawarkan pun lebih murah dari toko. Tapi gak enaknya, harus siap terhimpit di antara penumpang dengan segala rupa aroma."
Gadis itu dan Rudolfo tertawa. Tergelak akrab yang mengalirkan rasa hangat, sehingga lupa menanyakan nama dan alamat satu sama lain.
Rudolfo menimpali, "paling sedih kalau hilang barang berharga. Kecopetan."