Pandangan Rudolfo menyorot kepada seorang gadis di sebelahnya. Menyendiri di kerumunan. Kesepian di antara keramaian. Sebelumnya, Rudolfo demikian terkesima mengamati orang-orang gesit yang menyelinap di tengah padatnya penumpang.
Gerbong-gerbong serupa toko serba ada sedang melaju di atas batang-batang besi, dari Jakarta ke Bogor dan sebaliknya yang singgah di tiap-tiap stasiun. Sebelum bertransformasi menjadi Commuter Line, Kereta Rel Listrik (KRL) merupakan moda angkutan termurah se-Indonesia.
Rakyat berjejal menumpang KRL sampai di atas atap dengan pintu-pintu dan jendela-jendela menganga. Maka terpampang pemandangan ribuan orang memadati ruang dan atap gerbong-gerbong kereta yang berjalan terseok-seok.
Pedagang menawarkan sekumpulan tahu goreng berwarna kecokelatan dengan serakan cabai rawit. Asongan meneriakkan barang-barang sederhana kebutuhan rumah tangga, seperti peniti, korek kuping, kapur anti serangga, hingga lem tikus. Ada pula yang membawa tisu wajah, kue gemblong, slondok, permen, serta minuman dingin.
Juga terdapat mereka yang menjual rasa belas kasihan: bersendiri atau berdua, juga yang menyeret tubuhnya pada lantai gerbong memperlihatkan kaki diperban dengan rembesan merah. Ditambah pula dengan suara riuh para pengamen.
Di luar para pengusaha gesit itu, copet-copet berkelebat dalam senyap, tahu-tahu dompet penumpang KRL lenyap.
Pada suatu ketika ketukan roda di atas rel berhenti di sebuah stasiun kecil. Lama. Lebih lama daripada biasanya. Paduan suara para penumpang, pedagang asongan, peminta-minta, pengamen, dan copet membunyikan nada serupa.
"Huuuuuh.... mogok lagi!"
Penumpang-penumpang KRL kesal, mangkel, dan sebel. Suara-suara riuh pedagang asongan, peminta-minta, dan pengamen menjadi-jadi. Copet-copet makin leluasa dalam keriuhan.
Pintu-pintu dan jendela-jendela yang sudah terbuka lebar-lebar tidak berhasil menyingkirkan udara pengap. Ribuan orang keluar gerbong menunggu berita perihal mogoknya KRL yang tidak kunjung diumumkan. Menyisakan mereka yang belum terlalu mahir menyiasati padat dan pengapnya gerbong KRL, termasuk gadis itu dan Rudolfo.
Dengan mencuri-curi pandang, Rudolfo menilai, bahwa gadis itu menawan, tampak lembut, dan sebagaimana yang diidamkan selama ini, tapi wajahnya pucat. Membuat tampak kian putih, memperlihatkan urat-urat berwarna hijau muda menjalar di lehernya yang jenjang.