Ketika embun memeluk daun basah yang belum terisap matahari, pertemuan penjual dan pembeli sudah mulai bersemi.
Pasar merupakan pusat perdagangan segala macam kebutuhan sehari-hari, termasuk penjualan hasil perburuan kekayaan laut.
Ikan basah dengan mudah dapat ditemukan di bagian pasar berlantai basah cenderung becek. Kios-kios berlantai keramik di atasnya menjual ikan kering terjemur matahari. Garam peredam amis menguarkan bau menyengat.
Berada di luar bangunan pasar, terdapat lapak-lapak penjual ikan pindang. Berbagai jenis ikan yang diolah dengan cara digarami lalu dikukus atau direbus agar tahan lama.
Keranjang bambu ditempati ikan pindang berukuran kecil. Wadah bulat, kira-kira setinggi seperempat tong aspal, dan terbuat dari plat logam berisi ikan pindang berukuran besar, biasanya terbuat dari ikan tongkol.
Menggunakan pisau kecil yang tajam, penjual mengiris-iris ikan pindang berukuran besar menjadi kecil-kecil berbentuk nyaris kubus. Dengan itu, daging ikan pindang terpotong rapi, bebas dari tulang belulang dan kepala yang kini menjadi remahan ikan pindang.
Tongkol iris tersebut laku di pasaran. Selain harganya terjangkau, tongkol iris itu terasa enak, apakah cukup dengan digoreng maupun dimasak saus cabai. Umumnya ibu-ibu menyasar ikan pindang jenis ini.
Sepasang sepatu berhak tinggi berusaha menghindari genangan. Berpasang-pasang mata nakal melekat pada baju ketat, memindai tubuh berdada tegak membusung, berpinggang ramping, berkaki jenjang mulus yang melangkah bak macan lapar.
Nyonya berpupur gaya Korea sekaligus Amerika itu menghampiri sebuah lapak ikan pindang.
"Nih, dua puluh ribu. Tongkol iris!"
Cekatan, penjual membungkus dua puluh potongan tongkol iris dengan daun, lalu memasukkan ke dalam kantong plastik transparan.
Sambil menyerahkan keresek, sang penjual tersenyum genit, "digoreng atau dimasak saus cabai?"
"Enggak. Untuk makanan kucing."
Nyonya berwajah beku melengos, melangkahkan kaki menuju halaman parkir kantor bank sedang tutup. Setelah menghempaskan pintu, Nyonya memundurkan kendaraannya.
Mobil sejuta umat itu mengaum, mendecit, mencelat lalu melesat cepat menyisakan debu.
Seorang wanita kuyu berpakaian lusuh bangkit. Berjalan menghampiri penjual ikan pindang.
"Tolong remahan dibungkus. Dua ribu," tangan kurus mengangsurkan sekumpulan uang logam.
Penjual memasukkan dua raup remahan ikan pindang ke dalam keresek, "untuk makanan kucing ya?"
Sejenak wanita itu berusaha menaikkan ujung bibir, kemudian melangkahkan kaki menuju halaman parkir. Mengambil sebuah karung berisi wadah-wadah plastik bekas air mineral.
Sebelum matahari beringsut meninggalkan pagi, penjual berkemas-kemas membebaskan trotoar di depan toko dari lapak ikan pindang. Sedangkan wanita pembawa karung terseok-seok berjalan pulang menyisakan bisu.
Di gubuk bersahaja, sangat sederhana, mata wanita memancarkan cahaya menyeru kepada putranya yang tergolek lemah.
"Nak, kita makan enak. Sebentar lagi Emak akan memasak."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H