Dengan lima puluh rupiah, kaleng persegi bekas wadah Khong Guan terisi penuh dengan pecahan kerupuk. Pada waktu itu, harganya setara dengan lima buah kerupuk bulat atau persegi.
Sebagian renyah. Sebagian lagi bantat, sebab belum masak benar dan keras. Karena terbiasa, lama-lama aku suka kerupuk liat. Kerupuk bantat yang tidak akan mengeluarkan suara "kriuk" ketika gigi mengunyahnya.
Kesukaan kepada tempe goreng garing dan kerupuk bantat masih berlanjut. Ada sensasi nikmat ketika menyendok nasi kecap dengan lauk tempe dan kerupuk bantat.
Bedanya, kini kerupuk bantat sulit didapat.Â
Maka kepada pemilik warung aku tidak bertanya tentang kaleng biru yang baru. Aku mencari blek yang belum sempat diganti oleh pemasoknya. Kaleng berisi kerupuk yang berusia, setidaknya, tiga hari.Â
Harga kerupuk melempem sama saja dengan kerupuk baru, yaitu seribu atau dua ribu rupiah, tergantung ukuran.
***
"Ah ternyata kau di sini. Aku mencarimu ke mana-mana. Telepon pun tidak diangkat," mitraku menyeka keringat.
"Sori, HP di-silent. Sebentar ya."
"Buruan! Tinggal menunggu kamu. Situasi sudah aman. Para pengunjuk-rasa diredam, dikendalikan, dan disingkirkan oleh aparat gabungan."