Katanya, mengolah rasa menjadi karya adalah milik seniman, pujangga, penggubah, dan perupa.
Ungkapan patah hati, sedih, dan perih konon menghasilkan puisi sendu dalam diksi-diksi pilu. Rasa senang menghasilkan nada-nada riang. Nestapa membuat kanvas disesaki warna-warna lara penuh duka.
Gejolak emosi dan geliat rasa menghasilkan karya seni yang menjadi muara katarsis bagi penikmatnya.
Namun tahukah Anda?Â
Ternyata ada keterampilan yang memerlukan rasa, emosi, dan keinginan berbagi dalam proses penciptaannya. Juga bisa dianggap sebagai salah satu bentuk seni.
Ya. Keterampilan memasak. Kemampuan yang membutuhkan rasa dalam mengolah. Karya ciptanya pun dianggap memiliki nilai seni.
***
Di keluarga besar dan kalangan teman-teman saya dianggap "jago" masak. Dengan bahan apa pun, dapat dihasilkan masakan enak untuk dinikmati bersama. Keterampilan tersebut tidak diperoleh begitu saja dalam waktu singkat, tetapi butuh pengalaman puluhan tahun.
Awalnya, saya memasak karena didorong kehendak kuat merasakan makanan enak dalam keterbatasan. Maksudnya, ketika ingin menjajal hidangan restoran, apa daya isi dompet mepet. Maka, dengan bahan seadanya saya mengolah bahan-bahan menjadi masakan.
Aktivitas tersebut lebih intens dilakukan, ketika indekos. Sendiri, sepi, tanpa pujaan hati. Bukan hanya masak mi instan, tapi saya niatkan untuk membuat masakan yang lebih sehat, bergizi, enak, dan murah.
Dalam perjalanan, kawan-kawan kos ikut "saweran" belanja bahan dan perlengkapan memasak. Karena sudah menyangkut orang lain dengan berbagai selera, maka saya berusaha mendedikasikan rasa, seni, dan keinginan berbagi dalam proses pengolahannya.