Tahun 1975. Pada sebuah ujung pertigaan. Sebuah sedan diserempet jip.
Tergopoh-gopoh, pengemudi sedan membuka pintu, menghampiri penabraknya. Dengan rendah hati meminta maaf kepada pengemudi jip, karena pengemudi sedan lalai menghidupkan lampu sein ketika hendak berbelok.
Tahun 2015. Pada sebuah ujung pertigaan. Sebuah mobil sport diserempet mobil mewah.
Tergopoh-gopoh, pengemudi mobil sport membuka pintu, menghampiri penabraknya. Dengan marah memaki pengemudi mobil mewah, kendati pengemudi mobil sport lalai menghidupkan lampu sein ketika hendak berbelok.
Peluru kata-kata yang meluncur dari mulut pengemudi sport dibalas dengan rentetan frasa dari kerongkongan pengemudi mobil mewah. Lalu dengan cepat masing-masing wajah memerah karena marah itu saling menodongkan senjata. Saling menyiapkan percakapan dengan peluru.
***
Begitulah secuil ilustrasi yang merefleksikan keadaan sosial yang diliputi nada permusuhan, perang kata maupun peluru, periksakan/penindasan, aksi pencurian duit rakyat, anak membunuh orang tua, orang tua melenyapkan nyawa anak sendiri, bara iri dengki dan benci, dendam, intoleransi, dan segala bentuk terpuruknya cinta kasih di antara sesama makhluk.
Kemudian, saya larut di dalam kehidupan yang mulai luntur nilai luhur tersebut. Gemerlap, tapi gelap. Gempita, namun penuh nestapa.
Dalam keadaan demikian saya bertemu dengan Mas Bambang. Bukan Mas Bambang Syairudin, Kompasianer ramah yang rajin menyapa itu lho!
Pria kelahiran Jawa Timur itu bak oasis di tengah keringnya cinta kasih. Lulusan pesantren itu mengenalkan saya kepada nilai-nilai cinta kasih kepada sesama makhluk. Maka, keinginan untuk menyakiti dan merugikan orang lain diredam. Juga berlaku kasih dengan berbagai bentuk, termasuk bersedekah.
Pria bersuara sejuk tidak meledak-ledak itu juga mengajak kepada makna pembebasan. Saya diminta membeli ikan yang merupakan pakan predator semampunya. Lalu makhluk-makhluk tersebut dilepaskan ke telaga atau sungai mengalir.