Di depan pintu kelas, seratus pasang mata memandang tajam. Biaya pelatihan sebesar Rp 5 juta per orang terancam sia-sia sebab perbuatan kami berdua.
Akibat kami bersikap too much analyzing, waktu penyelesaian tugas yang mestinya sederhana menjadi melar. Instruktur berhonor mahal bersiap meninggalkan kelas. Menenteng koper pakaian, ia siap terbang kembali menuju negaranya.Â
Pria berkebangsaan Amerika Serikat itu tidak menyukai kegagalan anak didiknya dalam pemenuhan waktu.
***
Sampai artikel ini ditulis, saya belum menemukan batasan mengenai too much analyzing. Istilah tersebut disematkan oleh instruktur berkewarganegaraan Amerika Serikat kepada kami berdua setelah peristiwa di atas.
Bukan overanalyzing atau overthinking yang merujuk kepada gangguan mental, di mana seseorang memikirkan segala hal dengan berlebihan, dari soal sepele, masalah kehidupan sehari-hari, sampai dengan pengalaman traumatis pada masa lampau.
Berbeda nuansa. Too much analyzing merupakan ekspresi dari sikap kehati-hatian dan prudent dalam menghadapi sebuah situasi.
Pemahaman too much analyzing kira-kira sehaluan dengan terlalu banyak pertimbangan. Terlalu menimbang tentang segala kemungkinan yang akan terjadi sampai dengan skenario terburuk dari suatu keadaan.
Sesungguhnya di dalam ilmu manajemen, bersikap bijaksana (prudent), berhati-hati, dan menetapkan pertimbangan tentang sesuatu hal adalah lumrah. Namun pengkajian itu seyogianya bersesuaian dengan perkiraan waktu.