Bulan Ramadan merupakan kesempatan baik untuk mengenalkan dan mengajarkan anak tentang ibadah. Ada beberapa kebaikan yang bisa ditularkan, ketika anak saya masih kecil.
Sesungguhnya, pada hari-hari biasa, anak pada usia dini sudah mulai mengenal ibadah. Kesempatan mengajak untuk senantiasa taat kepada perintah Allah adalah melalui:
- Orang tua yang memberikan teladan dalam pelaksanaan ibadah. Perilaku anak merupakan cerminan dari sikap orang tua.
- Shalat berjamaah dalam kesempatan berkumpul.
- Mengundang guru yang mahir dalam pelafalan dan ilmu artikulasi membaca ayat-ayat suci.
Hal-hal tersebut di atas menjadi modal bagi anak untuk berkembang secara positif dalam mempelajari makna ibadah, terutama perilakunya.
Meskipun bukan suatu kewajiban bagi anak kecil, ketika pada usia yang dianggap cukup kuat untuk melakukan puasa, sang anak diberi tawaran menjalankannya. Bukan dipaksa.Â
Untuk itu, saya menerangkan konsekuensi dari menjalankan ibadah puasa, yaitu komitmen kepada:
- Keinginan sungguh-sungguh untuk melaksanakan ibadah puasa atau lazim disebut niat berpuasa.
- Menahan diri dari minum dan makan, atau yang membatalkan, dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
- Pelaksanaan ibadah puasa secara sungguh-sungguh.Â
Bagi anak-anak, puasa merupakan "latihan" untuk menghadapi puasa yang sesungguhnya. Ia saya bolehkah berpuasa setengah hari alias puasa beduk.
Ternyata di dalam perkembangannya, anak saya berhasil melaksanakan ibadah puasa secara penuh selama bulan Ramadan. Bukan dipaksa, tetapi karena tumbuh dari keinginan.
Meski masih terkantuk-kantuk, anak saya semangat bangun untuk makan sahur. Demi menyiasati keengganan makan sahur, hidangan lebih sering dibuat berkuah.
Memang di awal pelaksanaan, pada siang sampai sore hari ia kerap melihat jam dinding, atau bertanya: jam berapa azan Magrib? Hahahaha.
Selain itu, kadang-kadang ia membuka pintu kulkas dan menempelkan badannya agar terasa dingin, katanya. Memang bulan Ramadan hawa cenderung panas, lebih dari biasanya. Tidur siang pun gelisah, karena rasa lapar menderanya.
Sehingga untuk mengisi kegiatan selama pelaksanaan ibadah puasa, ia saya ajak untuk mengaji, membaca buku, melakukan permainan, jalan-jalan (rekreasi), dan menjalankan hal yang dapat membunuh rasa bosan.
Mencermati perkembangan anak saya setelah "belajar" dan kemudian menjadi terbiasa melakukan puasa secara penuh, ada beberapa perilaku positif yang diperoleh dari pelaksanaan ibadah puasa:
- Tumbuh sikap disiplin, dengan menuntaskan sahur dan buka puasa tepat waktu.
- Tertib menurut diri sendiri, bukan sebab pemahaman orang lain, yaitu dengan penuh kesadaran berkeinginan mematuhi syarat-syarat dan aturan pelaksanaan ibadah puasa.
- Pengendalian rasa ingin. Selama bulan Ramadan, selama menahan diri dari minum dan makan dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari, anak melatih diri untuk mengendalikan keinginan dari hal-hal merugikan.
- Belajar menghargai makanan. Menjadi terbiasa menghabiskan makan sahur dan berbuka puasa dengan lahap, tanpa sisa sebutir nasi di piring.
- Menumbuhkan rasa empati, di mana dengan menahan lapar dan haus anak merasakan hal yang dialami oleh mereka yang tidak beruntung memperoleh makanan setiap saat.
Jadi itulah resultan dari mengenalkan, mengajak, dan mengajarkan menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan bagi anak saya. Juga ibadah dalam pengertian lebih luas.
Karena saya memaknai ibadah sebagai: sikap merendahkan diri, taat, dan tunduk kepada apa yang dicintai Allah dalam ucapan, perbuatan, dan perwujudan isi hati (batiniah).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H