Sebuah kedai ayam bakar di trotoar daerah Bulungan, Jakarta Selatan, dipenuhi pengunjung, sampai-sampai bangku dan meja tempat makan meluber ke tepi jalan.
Demikian pula pada sebuah gerai penjualan ayam goreng di jalan Pahlawan, Bogor, demikian laris, baik yang makan di tempat maupun peminat yang membungkusnya. Sementara itu, warung serupa berlokasi tidak jauh darinya sepi pembeli, kendati produk yang dijual sama dengan warung pertama.
Pada daerah berimpitan, sejatinya racikan atau resep ayam goreng dan ayam bakar kurang lebih sama. Bumbu dasar pembentuk rasa kurang lebih serupa.
Misalnya, ayam goreng di sekitar Jabodetabek umumnya melalui proses ungkep dengan bumbu: bawang, lengkuas, daun salam, jahe, kunyit dan seterusnya. Proses menggorengnya juga sama, menggunakan wajan, minyak, dan kobaran api.
Aroma yang dihasilkan pun sama persis: bikin lapar. Teman untuk menyantapnya juga seragam: nasi hangat, sambal, dan lalapan. Harganya juga nyaris tidak berselisih jauh. Fungsinya sebangun, yaitu mengenyangkan perut disertai dahi berkeringat.
Dengan kata lain, proses memasak ayam , tata cara menghidangkannya, dan manajemen penjualan sebenarnya bisa diduplikasi oleh warung lain.
Tetapi kenapa berbeda? Sebetulnya apa sih yang membuat sebuah warung lebih ramai pembeli dibanding warung lainnya, meski produknya serupa? Jangan-jangan penjualnya memakai aji pelaris?
Dua ratus tahun lalu, bisa jadi adanya guna-guna merupakan satu-satunya penjelasan. Barangkali pada zaman internet sekarang sulit diterima akal, walaupun masih ada saja mereka yang memercayainya.
Saat ini aji pelaris sudah bertransformasi menjadi keyakinan diri dan doa dalam berusaha.
Selain doa, ketekunan, dan kesabaran dalam menjalankan usaha, penjual ayam goreng itu memiliki rahasia yang menjadi pembeda dengan penjual serupa. Kemudian pembeda tersebut menjadi kekhasan yang melekat pada warung tersebut.
"Sambelnya enak, Mas," ujar seorang penikmat ayam goreng sambil menyeka keringat.