Saat ini, pedagang pikulan yang berkeliling menjajakan penganan rakyat kian lama kian menghilang.
Sekian dekade lalu, masih ditemukan penjaja keliling membawa: soto mi, soto kuning, laksa, doclang, dan makanan khas kota Bogor lainnya. Sebagaimana jajanan keliling, makanan tradisional tersebut umumnya berharga terjangkau.
Namun keberadaan pedagang keliling itu pada saat sekarang lumayan sulit diidentifikasi, terutama di daerah perkotaan. Barangkali terpinggirkan atau tersingkirkan oleh jajanan kekinian.
Namun makanan tradisional itu tidaklah lenyap begitu saja, mereka berpindah --move on, kata anak zaman now-- ke ruko atau food court. Doclang legendaris mangkal di tempat-tempat strategis, semisal Jembatan Merah Bogor. Sedangkan yang bertahan ngider sudah semakin sulit ditemukan.
Saat berjalan kaki pada Minggu yang cerah di suatu perkampungan, eh kok ndilalah saya melihat pedagang pikulan yang menjual doclang sedang beristirahat di depan warung belum dibuka.
Doclang adalah salah satu jajanan tradisional kota Bogor yang dulunya kerap dijajakan keliling permukiman. Terkadang orang dulu menyebutnya: oleh-oleh Bandung.
Penganan tersebut sebangun dengan kupat tahu Bandung dan daerah lain, dengan bumbu kacang yang sudah matang.
Seporsi doclang terdiri dari ketupat/lontong dan tahu disiram bumbu kacang. Yang unik, lontong dibungkus dengan daun patat. Saus pun sudah matang, berwujud cairan kacang dimasak dengan bumbu tertentu dan dikentalkan dengan tapioka/kanji.
Maka di dalam sepiring doclang terdapat potongan lontong, tahu, saus kacang, kerupuk, dan ditambahkan kecap manis serta sambal.Â
Rasanya merupakan gabungan dari gurihnya kacang bersama bumbu tidak diketahui dan manisnya kecap. Untuk makanan pinggir jalan, rasa yang ditawarkan cukup enak. Boleh jadi saya memang dalam keadaan lapar.
Menurut penuturan Mang Penjual, dengan berkeliling menyusuri berbagai permukiman ia bisa menjual sekitar 100 porsi setiap hari. Tanpa biaya sewa tempat, seandainya mangkal, bapak yang anak-anaknya masih sekolah itu bisa menjual seporsi doclang dengan harga terjangkau.
Mang Penjual mengaku doclang itu bukan buatannya, tapi merupakan produk orang lain yang disebut "bos" dengan sistem bagi hasil. Dari setiap penjualan, ia memperoleh bagian sebesar 40 persen.
Artinya, pria yang baru berjualan doclang selama dua bulan tersebut mendapatkan pendapatan kotor sekitar 300 ribuan per hari.
"Alhamdulillah, masih bisa mendapatkan penghasilan," ujar Mang Penjual yang sebelumnya berusaha bidang lain di Jakarta.
Demikian menariknya obrolan, tidak terasa piring doclang menyisakan bumbu kacang tak termakan.
Tidak lama setelahnya, seorang pengendara motor menghentikannya untuk memesan 5 bungkus.
Ternyata pedagang pikulan yang menjajakan doclang masih bisa ditemui di permukiman, walaupun sudah amat jarang.Â
Rasanya pun masih seperti dulu, cukup enak. Dan yang pasti, mengenyangkan dengan harga 8 ribu rupiah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H