Berwarna bening kekuningan yang mengkilap, dengan wujud kenyal, lembut, dan licin, mi glosor menjadi salah satu penganan paling dicari oleh masyarakat Bogor pada bulan Ramadhan.
Kita umumnya mengenal mi sebagai mi instan, mi goreng/rebus masakan rumahan atau yang dijual oleh abang-abang gerobak, dan komponen pencampur bakso.Â
Bahan pangan berwarna kuning berbentuk pipih memanjang itu demikian populer, sehingga dianggap sebagai makanan pokok setelah nasi.
Sejarah masuknya mi amatlah panjang, bisa jadi seiring dengan masuknya bangsa Tiongkok ke Indonesia. Mi sebagai sumber karbohidrat penting merasuki kepala masyarakat sejak tahun 1968, dengan munculnya pabrikan mi instan di Indonesia, yang lalu diikuti oleh produsen raksasa lainnya.
Kemudian, produsen terkemuka itu "berhasil" menjadikan masyarakat Indonesia sebagai konsumen mi instan terbesar kedua dunia.
Mi instan dan mi yang biasa kita kenal sejatinya adalah pangan berbahan baku 100 persen impor: gandum yang diolah menjadi tepung terigu.
Terkadang, demi menyiasati fluktuasi harga, sebagian pengrajin tradisional pembuat mi basah berbahan dasar tepung terigu mulai beralih ke bahan tapioka, meski belum terlalu populer di pasaran.
Jenis mi berbahan hasil pertanian lokal amat sedikit, biasanya di daerah tertentu saja, seperti mi pentil (Jawa Tengah) yang terbuat dari tepung tapioka.
Sementara di sebagian wilayah Jawa Barat (Tasikmalaya, Sukabumi, Cianjur, Bogor) dikenal mi yang terbuat dari tepung sagu atau aci atau kanji (tapioka).
Mi tersebut dibentuk dari adonan tepung sagu/aci/tapioka dengan tambahan kunyit sebagai pewarna, dan "disaring" dengan alat tertentu sehingga membentuk jalinan pipih memanjang.