Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Kenyal dan Lembutnya Mi Glosor, Penganan Ramadhan Khas Bogor

27 Maret 2021   13:04 Diperbarui: 29 Maret 2021   05:54 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Piring coklat licin tandas (dokumen pribadi)

Berwarna bening kekuningan yang mengkilap, dengan wujud kenyal, lembut, dan licin, mi glosor menjadi salah satu penganan paling dicari oleh masyarakat Bogor pada bulan Ramadhan.

Kita umumnya mengenal mi sebagai mi instan, mi goreng/rebus masakan rumahan atau yang dijual oleh abang-abang gerobak, dan komponen pencampur bakso. 

Bahan pangan berwarna kuning berbentuk pipih memanjang itu demikian populer, sehingga dianggap sebagai makanan pokok setelah nasi.

Sejarah masuknya mi amatlah panjang, bisa jadi seiring dengan masuknya bangsa Tiongkok ke Indonesia. Mi sebagai sumber karbohidrat penting merasuki kepala masyarakat sejak tahun 1968, dengan munculnya pabrikan mi instan di Indonesia, yang lalu diikuti oleh produsen raksasa lainnya.

Kemudian, produsen terkemuka itu "berhasil" menjadikan masyarakat Indonesia sebagai konsumen mi instan terbesar kedua dunia.

Mi instan dan mi yang biasa kita kenal sejatinya adalah pangan berbahan baku 100 persen impor: gandum yang diolah menjadi tepung terigu.

Terkadang, demi menyiasati fluktuasi harga, sebagian pengrajin tradisional pembuat mi basah berbahan dasar tepung terigu mulai beralih ke bahan tapioka, meski belum terlalu populer di pasaran.

Jenis mi berbahan hasil pertanian lokal amat sedikit, biasanya di daerah tertentu saja, seperti mi pentil (Jawa Tengah) yang terbuat dari tepung tapioka.

Sementara di sebagian wilayah Jawa Barat (Tasikmalaya, Sukabumi, Cianjur, Bogor) dikenal mi yang terbuat dari tepung sagu atau aci atau kanji (tapioka).

Mi tersebut dibentuk dari adonan tepung sagu/aci/tapioka dengan tambahan kunyit sebagai pewarna, dan "disaring" dengan alat tertentu sehingga membentuk jalinan pipih memanjang.

Setelah diolah, penganan kenyal dan licin itu mulus melalui kerongkongan menuju perut ketika ditelan, sehingga disebut Mi Glosor oleh warga Bogor.

Berwarna bening kekuningan yang mengkilap, dengan wujud kenyal, lembut, dan licin, mi glosor menjadi salah satu penganan populer di Bogor.

Menurut sahibul hikayat, penganan rakyat berawal di Tasikmalaya itu telah ada sejak 1950-an. Cerita lain meriwayatkan, ia berasal dari Sukabumi yang dibawa ke Bogor pada tahun 1970-an.

Mi yang paling dicari pada bulan Ramadhan itu biasanya ditumis bersama sawi berbumbu sederhana dengan topping saus kacang. Paling banter, mi glosor dikunyah bersama gorengan tempe, bakwan, kroket, dan sejenisnya.

Berarti, di luar waktu Ramadhan ia tidak ada?

Kadang pedagang nasi uduk menyediakan pada hari biasa.

Sabtu pagi tadi saya berkeliling, menyusuri perkampungan. Di antara beberapa penjual nasi uduk tidak tampak mi glosor, kecuali pada sebuah warung rumahan yang terletak di dalam gang. Gerai penjualan nasi uduk, gorengan, bihun goreng tersebut menyediakan mi glosor.

Wadah berisi mi glosor (dokumen pribadi)
Wadah berisi mi glosor (dokumen pribadi)
Kemudian saya mengakhiri petualangan pada bangku panjang dan memesan seporsi mi glosor disiram saus kacang. Sayangnya, wadah gorengan sudah kosong. Tidak mengapa. Toh, untuk ukuran saya, sepiring mi glosor sudah terasa banyak.

Seperti diduga sebelumnya, sesendok mi glosor masuk ke mulut tanpa dikunyah, meluncur ke dalam pencernaan. Tidak seperti mi terigu, rasanya lembut cenderung didominasi oleh rasa saus kacang yang cukup pedas.

Rasa kenyal, licin, lembut, dan pedas menyatu, lalu meluncur mulus masuk ke dalam perut. Sekian kali suapan, piring coklat licin tandas. Rasanya enak, sebagaimana digambarkan di berbagai ulasan. Kenyang dalam kenikmatan.

Piring coklat licin tandas (dokumen pribadi)
Piring coklat licin tandas (dokumen pribadi)
Sepiring mi glosor ditebus dengan harga Rp 3.000, sama dengan harga segelas kopi seduh khas Bogor.

Sambil mengistirahatkan perut, saya menyelesaikan tulisan ini, ditemani segelas kopi yang diaduk tiga kali.

Kemudian pikiran saya menggugat: mengapa mi glosor tidak mampu menandingi kepopuleran mi terigu dan mi instan, kendati ia sudah ada sejak zaman dahulu kala?

Boleh jadi rasa dan kemudahan dalam mengolah tepung terigu menjadi mi lebih bisa diterima.

Namun demikian, tidak berarti bahan pangan lokal itu dapat diabaikan dalam pengembangannya sebagai sumber karbohidrat pengganti nasi.

Selain sagu dan tapioka, tentunya masih banyak lagi bahan produksi dalam negeri pembentuk tepung cikal bakal mi enak yang patut dikembangkan.

Akhirnya, persoalan berkelindan itu mestinya diselesaikan oleh para peneliti dan penggiat yang berkaitan dengan program pascapanen hasil pertanian.

Itu pun kalau ada willingness.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun