Sahabatku,
Untuk melupakan sejenak kabar muram itu, ada baiknya aku membongkar kenangan. Aku mengenalmu sebagai murid pindahan, setahun sebelum lulus SMA, yang duduk bersebelahan denganku. Aku adalah teman pertamamu di sekolah itu. Kamu demikian baik. Aku senang berteman denganmu.
Eh, kok ndilalah kita masuk di perguruan tinggi dan fakultas yang sama. Barangkali kita sejiwa. Memang dalam beberapa hal ada kesamaan sifat di antara kita, kendati tidak bisa dimungkiri terdapat perbedaan yang sangat mendasar.
Sahabatku,
Hari pertama masuk kampus, kita berdua kena hukum senior. Menurutku kesalahannya sepele, kita berdua datang dengan mengendarai sepeda motor. Kamu naik bebek berwarna hijau pupus, aku memakai bebek merah cabai. Sama merek dan sama menyalanya.
Rupa-rupanya, membawa sepeda motor ke kampus diharamkan semasa Ospek. Namun dibalik hukuman itu, terdapat hikmah yang bisa kupetik: kita semakin dekat, menyala dengan motor serupa.
Sahabatku,
Kuliah adalah telaga keindahan tanpa tepi. Selalu bersamamu adalah kegembiraan. Kamu adalah keindahan itu sendiri. Apakah kamu merasakannya?
Kamu pasti ingat. Karena aku selalu ingat. Banyak yang mengira kita adalah dua sejoli yang selalu menyala dengan sepeda motor hijau pupus dan merah cabai. Sebuah kebersamaan yang pada akhirnya tiba di tepi.
Kamu pindah ke kota di lain pulau. Dibawa oleh suamimu.
Aku sempat berharap, ada keterpaksaan. Kamu tidak mencintainya lalu memberontak, melarikan diri ke pelukanku. Tetapi itu di sinetron. Dan juga realitanya, aku tidak pernah sekalipun menyatakan satu hal yang pasti kepadamu.