Realitanya, negeri Gemah Ripah Loh Jinawi ini bergantung kepada bahan pangan impor, tingkat sensitivitas ketergantungannya amatlah tinggi.
Kekisruhan harga daging dan kedelai selalu berulang. Tidak akan pernah selesai, selama tidak ada komitmen (nyata, bukan indah di atas kertas, apalagi retorika) dari pemerintah untuk membangun kemandirian bahan pangan.
Belakangan tersiar kabar, terjadi pemogokan para penjual daging. Alasannya, harga jual kepada umum melambung tinggi, sebagai akibat melonjaknya harga perolehan sumber protein hewani itu. Australia membatasi ekspor sapi dengan menaikkan harga sapi bakalan.
Sebelumnya, produsen dan penjual tahu tempe mogok, karena harga bahan baku naik, diakibatkan oleh melonjaknya harga kedelai dunia.
Menghadapi kekisruhan itu, lagi-lagi birokrat bersikap reaktif: ada masalah, barulah sibuk mencari solusi.
Kenaikan harga kedelai berpengaruh terhadap kenaikan harga pakan ayam petelur. Diketahui, ampas kedelai merupakan bahan yang digunakan dalam pembuatan pakan ternak.
Berbanding terbalik, harga pasaran telur makin merosot, akibat serapan yang tinggal 60 persen sebagai imbas penurunan daya beli masyarakat selama pandemi.
Namun pengamat lain menampik, masalah itu terjadi bukan semata-mata sebab naiknya pakan ternak dan rendahnya daya beli masyarakat, tetapi dipicu oleh kesalahan tata kelola sejak dulu. (Selengkapnya dapat dibaca di sini).
Apabila pernyataan itu benar, bisa-bisa peternak enggan memelihara ayam petelur. Lalu ketersediaannya menjadi langka. Ah, pikiran itu melambung terlalu jauh, ya.
Daripada memboroskan energi demi memikirkannya, lebih baik kita mencari alternatif sumber protein lain.