Perkara overstay, ajakan kepada WNA lain untuk tinggal di Bali, dan keengganan Kristen Gray untuk membayar pajak memancing kegeraman warganet.
Juga membakar jenggot pihak Imigrasi, ketika (baru) mengetahui bahwa turis bule itu bekerja di Bali hanya bermodalkan Izin Tinggal Kunjungan.
Sepengetahuan saya, dulu ada juga oknum turis yang melakukan praktik serupa.
Dua dekade lampau, saya ditugaskan ke Bali dalam rangka kegiatan pendampingan pemindahan restoran, dari Sanur ke daerah Seminyak. Bukan dalam hitungan sekian hari, tetapi diperlukan waktu sekitar enam bulan. Kok lama? Butuh waktu untuk riset: lokasi yang sesuai; konsep gerai baru; survei pasar; produk dan layanan akan ditawarkan; dan lain sebagainya.Selama itu saya kos di wilayah Seminyak.Â
Enaknya bekerja di Bali, tidak terpenjara oleh formalitas, seperti cara berpakaian yang lebih fleksibel. Soal makan juga lentur, tidak perlu menguras kantong, cukup mengisi perut di warung sederhana yang bersih, menyediakan makanan baik dan murah.Â
Warung Melati di Jalan 66 (kalau tidak salah) daerah Seminyak adalah salah satu tujuan. Rumah makan bersahaja itu dikelola oleh suami istri berasal dari Banyuwangi, menyediakan aneka masakan rumahan. Pindang ikan tuna merupakan salah satu makanan favorit pengunjung.
Ajaibnya, mayoritas penikmat makanan rumahan tersebut adalah bule. Ya! Wisatawan asing berkantong cekak alias kaum turis backpacker. Mereka tidak makan di restoran tersohor, karena kedai yang dibangun di halaman rumah itu cukup moderat menuntaskan rasa lapar.
Bahkan pelanggan tetap kerap memesan bumbu pindang untuk dibawa mudik. Salah satu turis bertas-gendong mengaku, membawa bumbu itu ke Perancis, lalu mengolah pindang ikan tuna yang rasanya sama dengan buatan warung Melati.
Dengan bahasa Indonesia terbata-bata, bule Perancis itu menjelaskan, selama tinggal di Bali warung ini menjadi kesukaannya, masakan tuna membuatnya ketagihan.
Turis jarang mandi tersebut bercerita, telah setahun ia tinggal di Bali. Jika waktu mendekati overstay, maka ia terbang ke Singapura untuk menginap beberapa hari.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, wisatawan berambut gimbal itu tidak mengandalkan tabungan, tetapi dengan bekerja. WNA tersebut menghasilkan uang dengan mengakali Izin Tinggal Kunjungan dan juga tidak membayar pajak.