Makhluk berbulu lembut itu menggeliat, merendahkan tubuh, berjingkat-jingkat mengendap-endap, lalu menyambar gurami asam manis di atas meja makan kayu jati.
Seorang kawan baik, yang tidak etis jika disebutkan namanya di sini, mengundang Pono untuk sebuah perayaan.Â
"Hanya sebuah acara syukuran sederhana."
Teman bangku waktu SMA itu bukanlah siswa pandai dalam semua mata pelajaran, tetapi bukan juga tergolong siswa bernilai buruk. Para guru selalu menuliskan tinta biru dalam rapornya.
Badan kecil, namun akal kancil. Maka dari itu, duduk sebangku dengan Pono adalah taktik cerdik.
Taklama setelah lulus, ia duduk di kursi kantor Pemda. Seorang pejabat memasukkannya sebagai pegawai honorer. Entah sejak kapan, pria cerdik itu kemudian diangkat menjadi pegawai negeri tetap.
Selain cerdik, ia juga gesit dalam menapaki karier. Pelan namun pasti, anak tangga pangkat dan golongan dinaikinya
Sempat beredar bisik-bisik, bahwa jenjang jabatan itu diperolehnya melalui jalur tidak jujur, yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pono mendaratkan pantat di atas sejuknya sofa Italia berlapis kulit sapi. Tepat di atas meja kayu mahoni tergantung lampu bercahaya kekuningan.
Demikian besarnya lampu kristal itu, sehingga ia menerangi lantai marmer yang berkilau, juga dinding berwarna hijau pastel, di mana pada salah satu bidangnya terletak lukisan-lukisan memukau.