Getaran lembut merambat dari dalam kantong celana, "bro, apa kegiatan sekarang?"
Dengan jempol tangan kiri saya mengetuk layar gawai, "bila matahari bersemangat, saya menemaninya berolahraga pagi agar tetap sehat, lalu membaca dan menulis."
"Hah, menulis? Maksudmu, menjadi penulis? Dulunya kan...?"
***
Sebelumnya, kegiatan saya jauh dari ruang kepenulisan. Ah, tetapi enggak gitu juga sih.
Zaman masih sekolah, ada tugas "mengarang" dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Atau membuat esai dalam tugas-tugas maupun ulangan.
Apalagi saat kuliah yang disibukkan dengan pembuatan karya tulis, mulai makalah hingga tugas akhir berupa skripsi.
Dunia pekerjaan juga tidak lepas dari kegiatan tulis menulis. Umpamanya, surat penawaran ke klien; offering letter atau surat persetujuan pemberian kredit dengan syarat tertentu; dokumen penawaran; laporan; dan seterusnya.
Umumnya korespondensi dan pembuatan berkas itu bersifat pragmatis untuk tujuan tertentu atau kepentingan saat itu saja. Karya tulis tersebut berpusat kepada keperluan diri sendiri si pembuat atas nama perusahaan.
Juga mengandung pernyataan konfirmasi dan verifikasi. Misalnya, progress report harus menerangkan suatu kenyataan perkembangan proyek as it is. Jika dokumen ini berbeda dengan parameter dan ukuran-ukuran di lapangan, maka si pembuat laporan perkembangan akan menghadapi masalah.
Pun gaya bahasa dan kosakatanya hanya dipahami lingkungan seprofesi, kecuali surat untuk pihak ketiga.
Oleh karena itu, tulis menulis di area pekerjaan cenderung metodis, berbahasa formal, teknis, kaku, pokoknya segala hal yang bersifat egosentris.
Tidak mengherankan, karya tulis yang saya tayangkan di Kompasiana sampai triwulan ketiga masih mencerminkan gaya bertutur self centered alias pemikiran yang berpusat kepada diri sendiri.
Isi karya tulis bersifat resmi, bertutur kaku, dan hanya menampilkan egosentrisme!
Barangkali pembaca mengernyitkan dahi untuk menerjemahkan artikel yang beku itu.
Dalam kesempatan berikutnya, saya mulai membaca karya tulis keren para Kompasianer dan mempelajari patokan menulis yang tersebut dalam FAQ Kompasiana.
Dengan itu, barulah saya mengerti, bahwa karya tulis di ruang publik harus bisa dipahami, kemudian dinikmati oleh khalayak pembaca. Bukan untuk kepentingan diri sendiri atau berupa artikel yang cukup memuaskan diri sendiri.
Sejak saat itu, diupayakan untuk membuat tulisan yang lebih lentur, populer, plastis, dan bermanfaat bagi sidang para pembaca.
Dalam proses transformasi di atas, saya belajar melalui beberapa langkah, yakni:
- Banyak membaca karya penulis lain dan rujukan agar memperoleh gambaran tentang bahasa yang fleksibel, elok, dan enak dibaca oleh banyak orang.
- Bertukar-pikiran dengan siapa pun yang mahfum tentang kepenulisan, termasuk kepada yang lebih muda, untuk menampung masukan dan kritik terhadap karya tulis saya.
- Membuat artikel dengan memperhatikan kenyamanan pembaca yang berlatarbelakang beragam dengan cara menyingkirkan kepentingan sendiri.
- Membagikan karya tulis yang berisi pengalaman dengan penuturan adaptif, meninggalkan bahasa teknis, agar dimengerti oleh lingkungan luas.
- Menyampaikan artikel yang mengandung pengetahuan bermanfaat bagi para pembaca.
- Menulis, menulis, dan terus menulis semampusnya (meminjam istilah dari Zaldy Chan) agar menghasilkan karya tulis yang baik menurut ukuran umum. Bukankah untuk menjadi sarjana itu harus dimulai dari kelas nol?
- Menantang diri sendiri melawan kemalasan dalam menulis. Nah, ini yang dirasakan paling berat. Hingga saat ini pun saya masih berjuang melawan kemalasan.
Barangkali masih banyak jalan yang mesti dilalui dalam proses hijrah dari "bukan penulis" menjadi penulis, namun sepengetahuan saya yang masih "green horn", itulah tahapan yang bisa ditempuh.
Jadi, dengan menjalani 7 langkah praktis di atas, saya mulai belajar mengikis egosentrisme dalam menulis sehingga mampu menghasilkan artikel yang dapat dinikmati publik.
Mumpung masih bisa memanfaatkan mimbar Kompasiana untuk berlatih menulis secara gratis.
Mari kita berlatih bareng!
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H