Pada akhirnya polarisasi telah membentuk penggemar fanatik (fans berat) kepada bintang filmnya (baca: tokoh politik). Satu pihak menjadi penyokong Jokowi, di lain pihak merupakan pendukung Prabowo.
Dalam perkembangan berikutnya, publik terkesima ketika “musuh bebuyutan” Jokowi dalam pilpres dilantik menjadi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM) 2019-2024 pada hari Rabu, 23/10/2019.
Kalkulasi politik terhadap Jokowi maupun Prabowo berantakan. Pendapat pro dan kontra sontak menyeruak atas bersatunya dua pesaing yang kini telah berjalan bersama dalam satu gerbong pemerintahan. Berbagai polemik, atas pengangkatan mantan Danjen Kopassus tahun 1996 itu sebagai menteri, mengemuka.
Takpelak, peristiwa itu menyebabkan kegaduhan yang lain, diikuti dengan persoalan penanganan Covid-19, paham radikalisme, intoleransi, dan terakhir ihwal vaksinasi, yang seharusnya menjadi perhatian bersama.
Paling mutakhir adalah pelantikan Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif KIM pada hari Rabu, 23/12/2020.
Lengkap sudah, dua tokoh politik yang berseberangan telah dirangkul oleh Jokowi masuk dalam jajaran pasukannya untuk memajukan Indonesia.
Sekali lagi, pengangkatan tersebut menimbulkan pernyataan-pernyataan pro dan kontra. Sebagian pihak memuji langkah itu sebagai angin segar untuk mengurai rivalitas pilpres 2019 yang terlanjur mengakar di dalam masyarakat. Sebaliknya, ada pihak yang kecewa, karena merasa perjuangan partai politik yang tergabung di dalam koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf menjadi sia-sia.
Persepsi tentang tokoh-tokoh yang tadinya “dimainkan” dalam kerangka cerita dengan peran sosok serba hitam putih, atau dengan kata lain, digambarkan sebagai tokoh “baik” versus “tokoh” buruk mendadak runtuh. Meskipun demikian, tetap saja ada pihak-pihak yang menghendaki siklus konflik usai dan mengusung berbagai isu atau topik pemecah agar rivalitas maupun ketegangan politik tidak terselesaikan.
Kendati belum ada penelitian yang mendukung, patut diduga bahwa rivalitas pilpres 55,50 versus 44,50 persen sudah tidak relevan lagi apabila diungkit saat sekarang. Dikotomi Cebong lawan Kampret menjadi tidak mutakhir dalam perdebatan-perdebatan.
Pun jika masih ada pihak yang membicarakannya, maka hal itu sudah tidak akan menjadi perhatian sebagian masyarakat Indonesia. Dugaan kuat saya, bagian terbesar warga Indonesia sudah jenuh dengan pertengkaran yang berakhir dengan kegaduhan. Indikasinya, kian menyurutnya tingkat kekerapan penggunaan frasa cebong kampret dalam percakapan di medsos dan berita.
Dalam percaturan kehidupan bernegara, saya terlibat dalam preferensi politik dan kemudian larut dalam hiruk-pikuk pemilihan.