Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tegang? Buang Fanatisme Politik, Indonesia Butuh Ketawa

26 Desember 2020   05:57 Diperbarui: 26 Desember 2020   06:00 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada akhirnya polarisasi telah membentuk penggemar fanatik (fans berat) kepada bintang filmnya (baca: tokoh politik). Satu pihak menjadi penyokong Jokowi, di lain pihak merupakan pendukung Prabowo.

Dalam perkembangan berikutnya, publik terkesima ketika “musuh bebuyutan” Jokowi dalam pilpres dilantik menjadi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM) 2019-2024 pada hari Rabu, 23/10/2019.

Kalkulasi politik terhadap Jokowi maupun Prabowo berantakan. Pendapat pro dan kontra sontak menyeruak atas bersatunya dua pesaing yang kini telah berjalan bersama dalam satu gerbong pemerintahan. Berbagai polemik, atas pengangkatan mantan Danjen Kopassus tahun 1996 itu sebagai menteri, mengemuka.

Takpelak, peristiwa itu menyebabkan kegaduhan yang lain, diikuti dengan persoalan penanganan Covid-19, paham radikalisme, intoleransi, dan terakhir ihwal vaksinasi, yang seharusnya menjadi perhatian bersama.

Paling mutakhir adalah pelantikan Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif KIM pada hari Rabu, 23/12/2020.

Lengkap sudah, dua tokoh politik yang berseberangan telah dirangkul oleh Jokowi masuk dalam jajaran pasukannya untuk memajukan Indonesia.

Sekali lagi, pengangkatan tersebut menimbulkan pernyataan-pernyataan pro dan kontra. Sebagian pihak memuji langkah itu sebagai angin segar untuk mengurai rivalitas pilpres 2019 yang terlanjur mengakar di dalam masyarakat. Sebaliknya, ada pihak yang kecewa, karena merasa perjuangan partai politik yang tergabung di dalam koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf menjadi sia-sia.

Persepsi tentang tokoh-tokoh yang tadinya “dimainkan” dalam kerangka cerita dengan peran sosok serba hitam putih, atau dengan kata lain, digambarkan sebagai tokoh “baik” versus “tokoh” buruk mendadak runtuh. Meskipun demikian, tetap saja ada pihak-pihak yang menghendaki siklus konflik usai dan mengusung berbagai isu atau topik pemecah agar rivalitas maupun ketegangan politik tidak terselesaikan.

Kendati belum ada penelitian yang mendukung, patut diduga bahwa rivalitas pilpres 55,50 versus 44,50 persen sudah tidak relevan lagi apabila diungkit saat sekarang. Dikotomi Cebong lawan Kampret menjadi tidak mutakhir dalam perdebatan-perdebatan.

Pun jika masih ada pihak yang membicarakannya, maka hal itu sudah tidak akan menjadi perhatian sebagian masyarakat Indonesia. Dugaan kuat saya, bagian terbesar warga Indonesia sudah jenuh dengan pertengkaran yang berakhir dengan kegaduhan. Indikasinya, kian menyurutnya tingkat kekerapan penggunaan frasa cebong kampret dalam percakapan di medsos dan berita.

Dalam percaturan kehidupan bernegara, saya terlibat dalam preferensi politik dan kemudian larut dalam hiruk-pikuk pemilihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun