Diketahui, legalisasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah menimbulkan kegaduhan sebagai reaksi atas langkah pemerintah dan DPR itu.
Undang-undang sapu jagad itu dianggap merugikan posisi buruh, sebaliknya ia menguntungkan pihak pengusaha/investor. Undang-undang ini ditengarai sarat dengan kepentingan bisnis.
Tidak pelak, tudingan itu diikuti dengan gelombang protes dan demonstrasi di berbagai daerah. Kegaduhan itu kontraproduktif terhadap kinerja pemerintah yang sedang pontang-panting mengatasi pandemi Covid-19, salah satunya adalah terhadap protokol kesehatan.
Dengan pemberian gelar Bintang Mahaputera kepada enam hakim MK aktif itu akan menimbulkan kesangsian atas independensinya dalam proses perkara gugatan UU Omnibus Law dan UU lainnya. Apapun hasil keputusan MK atas pengujian UU itu, akan menimbulkan kecurigaan di kalangan pihak penggugat dan masyarakat.
Apalagi jika hakim MK memenangkan pihak pemerintah dalam perkara uji materi Omnibus Law. Kecurigaan adanya intervensi pemerintah terhadap independensi hakim MK melalui "barter" dengan Bintang Mahaputera akan semakin menguat.
Keluarannya bisa berupa kegaduhan politik (lagi) yang diikuti oleh protes keras dan gelombang demonstrasi dari pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Dengan demikian, agar tidak berlarut, ada baiknya pemerintah memperbaiki dan melakukan komunikasi politik secara terang benderang yang bisa diterima berbagai lapisan masyarakat luas, sehingga bisa meminimalisir potensi kegaduhan yang mungkin terjadi. Demikian karena opsi pencabutan gelar Bintang Mahaputera dari hakim MK itu adalah nyaris mustahil.
Sumber rujukan: 1, 2, dan 3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H