Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Gelar Sekedar Menjadi Pajangan Pemikat

17 November 2020   07:07 Diperbarui: 17 November 2020   07:14 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh mohamed Hassan dari pixabay.com

Seorang kolega menyimak kartu nama yang baru dicetak, karena saya sudah resmi menjadi pegawai tetap sebuah perusahaan.

"Kok titelnya gak dipasang?"

Pertanyaan lumrah itu disampaikan, mengingat titel diperoleh dengan susah payah, juga berbiaya mahal. Untuk memperoleh gelar kesarjanaan, sedikitnya seseorang harus menempuh 9 semester, atau kira-kira 4,5 tahun. Itupun mesti rajin belajar, memenuhi tugas, dan mampu mempertanggungjawabkan isi karya tulisnya dalam sidang skripsi.

Biaya kuliah pun tidak murah. Butuh Rp 5 juta per semester bagi mereka yang diterima melalui jalur undangan (sebuah universitas negeri, pada tahun 2013-2014). 

Bisa lebih, untuk jalur lain atau di perguruan tinggi berbeda. Itupun belum termasuk biaya pembelian buku, tempat tinggal (jika letak kampus di luar kota), makanan sehat, dan lain sebagainya.

"Tapi kenapa tidak dipasang gelarnya dalam kartu nama," teman kantor saya ngeyel.

Sepengetahuan saya, gelar akademik digunakan dalam kesempatan-kesempatan yang bersifat keilmuan. Umpamanya, dalam dunia penelitian, pendidikan, jurnal ilmiah, dan pertemuan atau lokakarya keilmuan. Penggunaan gelar itu menunjukkan keahlian di antara sejawat bidang keilmuan yang serupa.

Dalam keprofesionalan juga dibutuhkan keahlian, misalnya dalam bidang konstruksi yang mengharuskan seorang bertitel insinyur teknik sipil untuk memperoleh Sertifikat Tenaga Ahli Bangunan Gedung (SKA-201).

Tetapi kadangkala latarbelakang akademik belum tentu berkaitan dengan dinamika pekerjaan yang ditekuni.

Ketika seorang sarjana Hubungan Internasional berkerja sebagai Tenaga Pemasaran pada sebuah perusahaan, maka latarbelakang keilmuannya tidak berpengaruh langsung terhadap pekerjaannya. 

Titel sebagai jalan masuk ke perusahaan yang mensyaratkan S1 untuk pegawai pemasaran. Bisa jadi daya nalar sebagai sarjana lah yang dibutuhkan. Latarbelakang dan esensi keilmuannya tidak "nyambung" dengan pekerjaan

Seorang kerabat yang lulusan STM Bangunan berusaha sebagai kontraktor. Latar belakang keilmuan mendukung pekerjaannya. Ijazahnya bisa dipakai untuk mendapatkan Sertifikat Tenaga Terampil Pelaksanaan Bangunan Gedung/Pekerjaan Gedung (SKT TA-022).

Perusahaannya melesat maju, Ia menjadi pemborong terkaya dan terkenal di kota kecil itu. Tibalah saatnya untuk masuk dalam dunia politik. Modalnya cukup memadai: kekuatan uang, ketokohan, dan relasi ke "pusat".

Dengan mendeklarasikan Kantor Dewan Pengurus Cabang partai politik gurem, Ia terseleksi menjadi Caleg urutan teratas untuk parpolnya.

Kartu nama, poster, spanduk, dan alat peraga dibuat. Padanya dicetak foto. Yang mengherankan, dalam pencantuman nama dipasang gelar haji dan akademik: H. Z*****i, SE, MBA. Kalau gelar haji, tidak aneh, karena tahun sebelumnya sudah berangkat ke tanah suci.

"Kapan kuliahnya Om? Kok tiba-tiba dapat gelar Sarjana Ekonomi dan Magister Bisnis Administrasi?"

Beliau tersenyum sambil merapatkan ibu jari dan telunjuknya, lalu menggesek-gesekannya.

Rupanya di daerah itu, titel berderet-deret menjadi status dan diperlakukan sebagai pajangan pemikat untuk kepentingan tertentu, terutama dalam memasuki belantara politik.

Tidaklah penting, bagaimana titel itu diperoleh atau apakah berkaitan dengan kedudukannya. Tidak penting juga, apakah dengan gelar itu kapasitasnya mampu mengemban amanat sebagai anggota legislatif.

Gelar baginya hanya menjadi pajangan pemikat yang bisa dibeli untuk menggaet dukungan suara.

Apakah kemudian gelar-gelar itu mencerminkan kualitas bekerjanya? Sulit menjawab pertanyaan tersebut, karena orang hanya memandang gelar yang menyilaukan.

Saya tidak mau seperti itu, menggunakan gelar sebagai status, alat pamer dan pajangan. Lebih baik mengoptimalkan kemampuan dalam bekerja untuk meraih hasil terbaik. Juga mendatangkan manfaat dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan demikian, sampai saat ini tidak ada perlunya memajang gelar atau titel, selain di lingkungan/tujuan akademik dan profesional. Jangan sampai gelar yang sangat berharga itu sekedar menjadi pajangan pemikat saja.

Kecuali sebagai pemikat nganu di tikungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun