Seorang kerabat yang lulusan STM Bangunan berusaha sebagai kontraktor. Latar belakang keilmuan mendukung pekerjaannya. Ijazahnya bisa dipakai untuk mendapatkan Sertifikat Tenaga Terampil Pelaksanaan Bangunan Gedung/Pekerjaan Gedung (SKT TA-022).
Perusahaannya melesat maju, Ia menjadi pemborong terkaya dan terkenal di kota kecil itu. Tibalah saatnya untuk masuk dalam dunia politik. Modalnya cukup memadai: kekuatan uang, ketokohan, dan relasi ke "pusat".
Dengan mendeklarasikan Kantor Dewan Pengurus Cabang partai politik gurem, Ia terseleksi menjadi Caleg urutan teratas untuk parpolnya.
Kartu nama, poster, spanduk, dan alat peraga dibuat. Padanya dicetak foto. Yang mengherankan, dalam pencantuman nama dipasang gelar haji dan akademik: H. Z*****i, SE, MBA. Kalau gelar haji, tidak aneh, karena tahun sebelumnya sudah berangkat ke tanah suci.
"Kapan kuliahnya Om? Kok tiba-tiba dapat gelar Sarjana Ekonomi dan Magister Bisnis Administrasi?"
Beliau tersenyum sambil merapatkan ibu jari dan telunjuknya, lalu menggesek-gesekannya.
Rupanya di daerah itu, titel berderet-deret menjadi status dan diperlakukan sebagai pajangan pemikat untuk kepentingan tertentu, terutama dalam memasuki belantara politik.
Tidaklah penting, bagaimana titel itu diperoleh atau apakah berkaitan dengan kedudukannya. Tidak penting juga, apakah dengan gelar itu kapasitasnya mampu mengemban amanat sebagai anggota legislatif.
Gelar baginya hanya menjadi pajangan pemikat yang bisa dibeli untuk menggaet dukungan suara.
Apakah kemudian gelar-gelar itu mencerminkan kualitas bekerjanya? Sulit menjawab pertanyaan tersebut, karena orang hanya memandang gelar yang menyilaukan.
Saya tidak mau seperti itu, menggunakan gelar sebagai status, alat pamer dan pajangan. Lebih baik mengoptimalkan kemampuan dalam bekerja untuk meraih hasil terbaik. Juga mendatangkan manfaat dalam kehidupan bermasyarakat.