Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengejar Gelar Pahlawan

10 November 2020   12:36 Diperbarui: 10 November 2020   12:42 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan bulat sempurna bersinar terang. Menyoroti ke dalam remangnya rumah yang padam lampu.

Terang bulan!

Anak-anak keluar rumah, berkumpul dan bermain-main di bawah siraman cahaya purnama.

Setelah waktu Isya, anak-anak perempuan bermain lompat tali dan sebagian lagi bermain congklak. Sedangkan anak laki-laki berlarian dan menghindar dalam permainan gobak sodor. Sekali-kali bermain petak umpet.

Setelah lelah bermandikan cahaya purnama, Aku pulang. Melewati ruang tamu.

Ayah berbincang dengan sahabat lamanya, Om Achmad, yang menyambutku dengan suara baritonnya, "hey, sudah besar sekarang."

Aku tersenyum lalu mencium tangan lelaki berhitung mancung dan berperawakan tinggi besar itu.

Aku berlari ke belakang untuk menyegarkan wajah dan berganti baju tidur. Suara Om Achmad terdengar jelas dari kamar tidur.

"Engkau tahu persis, bagaimana kehidupanku. Maka, dengan menandatangani berkas ini, salah satu persoalan teratasi."

Pembicaraan selanjutnya tidak jelas, Aku lenyap dalam selimut mimpi.

***

"Kenapa Ayah menandatanganinya? Katanya teman Ayah itu tidak pernah mengangkat senjata."

Ayah mengangkat bahu, mengunyah sesendok nasi dengan tumis bayam dan sepotong tempe goreng.

"Ceritakan tentang perang pada zaman kemerdekaan."

"Lagi?" Ayah menaikkan kedua alisnya.

Aku mengangguk senang. Sudah kesekian kalinya mendengar kisah yang tidak pernah membosankan dari mulutnya.

Ayah mengalami empat zaman, yaitu: ketika masih dijajah Belanda, penguasaan oleh Jepang, masa kemerdekaan, dan berkuasanya rezim Orba.

Dalam masa penjajahan Belanda, Ayahku beruntung bisa bersekolah, karena kakekku seorang ambtenaar.

Menjelang pendudukan, orang-orang Jepang menyamar menjadi pedagang keliling. Ayah mengingatnya sebagai orang yang santun, menguasai bahasa setempat, dan cenderung supel. Beberapa kali mampir menawarkan barang dan berbincang-bincang dengan ramah.

Kelak, Ayah memahaminya sebagai kegiatan intelejen. Dan Ayah bertemu dengan salah satu pedagang keliling yang ternyata adalah seorang perwira militer negara matahari terbit.

Dalam masa perjuangan demi mempertahankan kemerdekaan, Ayah bergabung dengan sebuah laskar rakyat. Perjuangannya termasuk mengawal tawanan perang yang sebelumnya mengaku sebagai saudara tua dari bangsa Indonesia.

Laskar-laskar perjuangan yang berdiri sendiri itu kemudian disatukan dalam sebuah organisasi yang lebih solid, yaitu Barisan Keamanan Rakyat/Tentara Keamanan Rakyat yang kemudian bernama Tentara Rakyat Indonesia. Itulah cikal bakal lahirnya Tentara Nasional Indonesia.

Pada masa itu keadaan masih kacau balau. Apalagi dengan kedatangan pasukan sekutu yang ditumpangi oleh tentara NICA (Nederlands Indie Civil Administration), membuat keadaan semakin mencekam.

Karena itu, Ayah mengubur dokumen yang berhubungan dengan keikutsertaannya dalam Tentara Rakyat Indonesia. Sayangnya, bertahun-tahun kemudian, setelah keadaan aman, Ayah tidak ingat tempat tepatnya Ia memendam berkas tersebut.

Keterangan dalam dokumen itu seharusnya dapat membuat Ayah berpangkat militer. Diakui sebagai orang yang berjasa dalam perjuangan kemerdekaan. Juga kesaksian dari sesama pejuang, atau dari orang yang mengenalnya sebagai pejuang, akan membuat seseorang menjadi veteran pejuang kemerdekaan.

Om Achmad mengejar gelar pahlawan itu demi menaikkan jabatan. Juga untuk mendapatkan imbalan dari negara. Peluang inilah yang tidak pernah dimanfaatkan oleh Ayah.

"Untuk apa? Cukuplah, rasa bangga turut dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Mengakali dokumen adalah mencuri dari negara, seperti halnya korupsi dan menyia-nyiakan waktu bekerja."

Aku tercenung lalu tersenyum. Ayahku secara resmi bukanlah veteran, pahlawan pejuang kemerdekaan. Tetapi bagiku, beliau adalah pahlawan yang berjuang melindungi keluarga. 

Ayah selalu membesarkan hatiku, ketika menangis ditusuk jarum suntik, saat Aku merasa sendiri di hari pertama sekolah, dan memeluk manakala Aku sakit, serta membangkitkan semangat belajar ketika Aku lelah.

Terpenting, Ayahku telah mengajarkan nilai-nilai yang baru kupahami setelah Aku dewasa.

Aku menaburkan bunga-bunga diiringi semilir angin di bawah kesejukan kamboja.

Selamat Hari Pahlawan 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun