Sebetulnya ia gadis riang menyenangkan, lembut dan banyak hal yang bisa menjadi bahan pembicaraan. Aku terbawa suasana, turut menimpali pembicaraan.
Setelah mengantarkannya, aku bisa langsung ngebut pulang menjemput istriku. Telat sedikit tidak mengapa.
"Bisa mampir sebentar ke butik di Tebet? Untuk mengambil baju dan beberapa barang," Â Vinny berkata lembut.
Aku menginjak pedal gas, melesat dan meliuk-liuk di antara kemacetan. Tujuan takterduga itu akan membuat bertambah terlambat menjemput istriku.
Lima belas atau dua puluh menit gadis kenes itu keluar dari sebuah butik kecil, masuk ke dalam mobil dengan sumringah. Gigi gingsulnya terlihat manakala ia tersenyum cerah.
Gigi gingsul yang sontak meruntuhkan kekesalanku. Gingsul itu terlalu memesona, memenjarakan kemarahanku dalam ruang yang tidak aku mengerti. Senyum itu mendinginkan hati yang mendidih. Nyesss.
Tapi aku hanya mengagumi saja, untuk memilikinya adalah suatu hal yang mustahil. Kendati Vinny tipe gadis easy going, yang tidak menyoalkan status, namun rasanya, dari beberapa kali perjumpaan Vinny naksir aku. Mata bulatnya menyatakan itu.
Tentu saja aku menganggapnya hal itu sebagai hubungan baik dengan pelanggan. Hubungan bisnis bukan hubungan pribadi.
Aku membawakan barang  bawaan yang cukup banyak ke dalam apartemen yang dimiliki gadis kekinian itu.
Vinny membuka blazernya dan melemparkannya ke sofa. Aku menaruh tas-tas butik di meja, kemudian pamit pulang, ketika Vinny menahanku,
"Sebentar, aku ingin minta pendapatmu tentang baju yang baru kubeli."