Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bendera dan Umbul-umbul Mumbul

28 September 2020   10:51 Diperbarui: 28 September 2020   10:59 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Jondolar Schnurra dari pixabay.com

Mendadak enak itu mengolah mi instan. Gampang. Sebagaimana mendadak masak menggunakan bumbu sasetan. Efektif. Mendadak menjadi tokoh itu terjadi dengan cara menempelkan sebuah ketokohan pada dirinya. Gampang dan efektif.

Pagi hari, pada sebuah rumah panggung di balik punggung bukit, seorang pria menarik napas dalam-dalam. Mengeluarkannya perlahan-lahan.

Dilakukannya beberapa kali untuk menyingkirkan rasa sesak. Dengan itu, oksigen merambat ke seluruh tubuh dan mendamaikan benak yang nyaris meledak.

Kedua matanya membedah sebuah surat undangan. Mencermatinya. Lelaki berwajah teduh itu menghela napas lagi.

Menurut pemahamannya, isinya tidak bersinggungan dengan apa yang telah diberitakan di koran. Kemarin, tetangga dan kerabatnya menunjukkan layar-layar yang memuat fotonya.

Berita terlanjur beredar: Kiai sepuh itu menggadaikan ketokohannya demi syahwat politik. Jangan-jangan dibayar?

***

Lelaki sepuh bermata teduh, bertempat tinggal di rumah panggung di balik bukit, dan dijuluki Kiai itu sesungguhnya adalah sosok yang paling dihormati oleh masyarakat kota kecil.

"Dalam gelaran Pilkada serentak ini, ada bagusnya Kiai Sepuh mencalonkan diri, dijamin menang," seseorang dengan lancang mengutarakan usulan.

"Kisanak, aku tidak dan tidak akan pernah terlibat dengan dunia politik. Duniaku adalah keheningan, jauh dari iri, dengki, benci yang senantiasa meliputi dunia politik," lelaki sepuh itu menghela napas.

***

Bendera dan umbul-umbul mumbul menembus angkasa. Iring-iringan mengiringi pasangan menuju tempat pendaftaran. Arak-arakan mengarak dua orang jumawa memutari jalanan kota. Uring-uringan membelah keheningan kota di punggung bukit.

Pesta rakyat telah dimulai.

Orang-orang berjumpa, berkumpul dan berkerumun pada permulaan perayaan. Para bakal calon pasangan pemimpin kota kecil beramai-ramai mendaftarkan diri. Meriahnya teriakan pendukung, banyaknya rombongan mengiringi, rapatnya kerumunan adalah landasan wajib bagi Balon atau Bapaslon.

Ah...istilah ini mengingatkan pada karet tipis yang membulat sebab diisi angin, kendati bermakna berbeda ketika disampaikan oleh warga dari daerah Malang.

Kemeriahan, perayaan, kumpul-kumpul, dan kerumunan dipastikan akan terus berlanjut pada tahap berikutnya. Jumlah orang yang membludak menjadi ukuran mutlak bagi calon untuk menduduki tahta kekuasaan.

Dimahfumi, kekuasaan diperoleh dari berbagai cara: karena faktor warisan, keturunan raja akan menjadi raja; memerangi suatu bangsa demi menguasai wilayahnya; dan ketokohan, di mana orang yang memiliki sifat dan sikap ini layak menjadi pemimpin.

Politik dinasti dan aneksasi adalah metode yang sudah usang. Ketokohan merupakan satu-satunya pilihan. Ketokohan mengundang banyak pendukung dan besaran kerumunan  untuk meraih kekuasaan.

***

Bendera dan umbul-umbul mumbul menembus angkasa dari sebuah rumah anak gedongan.

"Bagaimana cara mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya?" Seorang calon raja kecil berkata gusar.

"Aku sudah mengerahkan seluruh kemampuanku. Apakah ada cara lain tanpa mengorbankan uang?"

Seorang bawahan setia, menyodorkan selembar kertas,

"Begini tuan, mohon maaf sebelumnya, saya tadi malam membuat coretan mengenai strategi peraihan massa."

Sang tuan calon raja kecil mengamati kertas itu. Mengernyitkan keningnya, menyunggingkan senyum lebar, lantas menepuk-nepuk bahu bawahannya nan setia, kendati belum digaji selama  tiga bulan.

"Bagus...bagus.... tidak sia-sia aku telah merekrutmu."

***

Lelaki sepuh bermata teduh, bertempat tinggal di rumah panggung di balik bukit, dan dijuluki Kiai itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Masih jelas teringat, ia datang kepada sebuah pertemuan berdasarkan sebuah surat undangan.

Bukan pertemuan politik!

Tetapi gelaran diskusi Covid-19. Kiai Sepuh bersemangat menghadiri ruang percakapan tentang kebangsaan, kemanusiaan, dan ihwal yang dapat meningkatkan kemaslahatan umat. Di sinilah ia bisa menularkan semangat dan kemauan-kemauan baik kepada generasi yang lebih muda.

Pertemuan terjalin dalam suasana hangat dan produktif. Ada beberapa inisiatif berguna yang dihasilkan.

Menjelang akhir acara, datang serombongan orang membawa umbul-umbul dan bendera, mengusung dua orang gagah berjas sewarna bendera, bersorak-sorai memecah kedamaian pertemuan.

Dua orang tuan calon raja kecil penguasa daerah berjas sewarna bendera turun, berjalan dengan jumawa, bersalaman dengan Kiai Sepuh. Berbincang sebentar lalu mengadakan foto bersama.

Kiai Sepuh bersama Balon yang mendadak tokoh itu, dilatari rombongan pembawa bendera dan umbul-umbul, membuka bibir lebar-lebar sambil mengacungkan jari tangan yang membentuk huruf "V".

Cekrek... cekrek.. cekrek.

Bendera dan umbul-umbul mumbul menembus angkasa meninggalkan tempat pertemuan.

~~Selesai~~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun