Tadi malam, gerimis mengundang keinginan untuk meringkuk lebih cepat dalam selimut. Namun hasrat itu tenggelam. WAG Alumni SMA Negeri 2 Kota Bogor riuh, membincangkan tinggi air permukaan di bendungan Katulampa. Seorang anggota mengutarakan niat melihat Ciliwung.
Ternyata benarlah apa yang dikhawatirkan. Senin, 21/9/2020, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bogor memberikan peringatan agar warga mewaspadai potensi meluapnya sungai Ciliwung.
Sementara itu tersiar kabar, bahwa banjir bandang menerjang wilayah Cibuntu di Desa Pawasawan, Cicurug, Kabupaten Sukabumi, pada Senin (21/9/2020), pukul 16.00 sampai 17.00, setelah kawasan itu dilanda hujan lebat selama beberapa jam. Dilaporkan 12 rumah dan lima unit mobil terseret arus deras. Sebuah pabrik air mineral terpaksa dihentikan operasionalnya, karena terendam banjir.
Dalang musibah dialamatkan kepada alam. Padahal sejak jutaan tahun yang lalu, alam hanya memenuhi tugas Illahi, mencurahkan hujan dan mengalirkan air dari tempat tinggi ke daerah terendah. Kodratnya, manusia bekerjasama dengan alam, kemudian menjaga keseimbangan, demi keberlangsungan hidupnya juga.
Dalam wilayah yang bermusim penghujan dan kemarau, manusia seyogyanya bertindak preventif untuk menyiasatinya. Payung, jas hujan, mempertahankan pepohonan sebagai serapan alami, membangun situ-situ sebagai penampung air, membuat irigasi teknis, mengeruk endapan di dasar sungai, merakit bendungan, dan semua tindakan yang bisa menahan lajunya air adalah hasil karya.
Dalam kenyataannya, manusia tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Untuk memenuhi keinginan itu, ia melindas hutan, menebas serapan air, menyesaki bantaran kali dengan permukiman, menduduki situ-situ, melenyapkan sungai-sungai kecil pemecah aliran air, dan perbuatan-perbuatan yang membuat air menerabas bebas ke segala arah.
Banyak contoh-contoh perbuatan manusia yang mencelakakan diri sendiri, lantas menyalahkan alam sebagai penyebab. Parahnya lagi, menuding Sang Maha Pemilik Alam selaku pengirim bencana atau menganggap banjir sebagai salah satu bentuk ujian.
Kita, manusia, dikaruniai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan alam. Segala kebisaan dikerahkan untuk menyiasati, bukan merusaknya, agar bisa bertahan hidup.
Jadi, "waspada banjir" adalah seruan bagi kita untuk menyiasati aliran air yang mengalir deras dari hulu ke hilir dengan menahannya atau melambatkan gerakannya. Membangun bendungan, situ, irigasi teknis, menjaga hutan di hulu, penghijauan, adalah sebagian dari upaya tersebut. Bukan sekedar menyalahkan alam.
Tadi pagi, sinar matahari terhalang mendung. Mungkin pada siang atau sore hari nanti akan turun hujan. Ada saatnya kelak, hujan lebat mengguyur Bogor sehari-semalaman, atau berhari-hari sebagai sumber miliaran kubik air.
Maka, waspadalah terhadap datangnya banjir!
Sumber rujukan: 1. 2, 3, 4
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H