Kerugian tersebut membuatku dipecat. Lagipula, Aku yang telah mengangkat biang keladi dari semua persoalan keuangan dan asmara itu, Nikolai. Cemoohan dialamatkan kepada diriku.
Hidupku menjadi kapiran. Mengalami kerugian batin dan lahir, yang menyeretku ke dalam  balada sentimental, bercampur dengan gelegak kemarahan.
Kegeramanku kepada Nikolai  memuncak, membludak merupa kesumat yang tidak bisa lagi disumbat. Bila bersemuka, keinginanku pasti menyembur demi membunuhnya. Sekarang Aku mesti menata ulang hidupku terlebih dahulu.
Dari sekian surat lamaran yang ku kirimkan, baru satu ini yang mendapat respon. Setelah melalui berbagai tes, kali ini adalah tahap wawancara dengan pimpinan perusahaan. Aku sangat yakin, kemampuanku akan membuatku terpilih. Tetapi tetap saja ketegangan melanda.Â
Aku duduk di sofa kulit di ruangan berpendingin udara, sambil memandang gadis cantik, duduk di meja sebelah pintu jati, dengan rok span yang menurutku terlalu pendek. Sekretaris pimpinan.
Seorang wanita lain menyodorkan berkas kepada sekretaris itu. Wanita yang menawan, roknya panjang, kendati belahannya amat tinggi. Wanita lainnya lagi, mengangsurkan sebundel dokumen, belahan bajunya demikian lebar, menyembulkan dadanya yang besar.
Agaknya kantor ini menyimpan pegawai-pegawai wanita cantik nan sedap dipandang. Teringat saat datang tadi, resepsionis di lobi depan suaranya sangat syahdu, bersenyum legit diapit lesung pipit meruntuhkan iman.
Meskipun lama menunggu, Aku cukup betah. Inilah calon kantorku. Kelak, setelah mapan Aku akan mencari Nikolai  untuk meleburnya menjadi serpihan-serpihan tak beraturan.
Sebuah suara merdu membuyarkan angan-angan itu, "Bapak pelamar yang akan diwawancara ya? Mari, ikuti Saya menghadap pimpinan!"
Aku segera berdiri, mengencangkan pantalon, merapikan dasi, dan mengikuti wanita berkaki jenjang itu menuju pintu jati yang kokoh.
Setelah mengetuk pintu, sekretaris tersebut membuka pintu dan berkata dengan lemah lembut, "maaf, ini pelamar yang akan diwawancarai. Ada tugas lain?"