Dalam rangka peringatan HUT ke-75 RI, Presiden Jokowi akan memberikan bintang tanda jasa Bintang Mahaputera Nararya kepada mantan Wakil Ketua DPR (periode 2014 sampai 2019) Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Kabar tersebut sontak mengejutkan banyak pihak dan menjadi sorotan negatif ribuan warganet.
Sebelumnya dua politisi itu dikenal kerap melemparkan kritik keras kepada pemerintahan Jokowi. Fadli mengkritik penanganan Covid-19 oleh pemerintah, Fahri meragukan kemampuan Jokowi dalam memimpin.
Selain Fahri Hamzah dan Fadli Zon, pada Agustus ini banyak tokoh lain yang akan memperoleh Bintang Mahaputra, seperti: Hatta Ali, Faruk Mohammad, dan Suhardi Alius, serta 22 tenaga medis yang gugur dalam penanganan Covid-19.
Penghargaan tersebut diberikan berdasar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Jasa, dan Tanda Kehormatan. Di dalamnya ditentukan syarat-syarat seseorang mendapatkan tanda jasa.
Dipahami, pengabdian Fahri dan Fadli yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI selama 15 tahun menjadi pertimbangan. Bersama dengan pertimbangan kelakuan baik, tidak pernah dipidana, berintegritas, dan seterusnya, dalam pemilihannya.
Tetapi, syarat-syarat lainnya dipertanyakan oleh berbagai pihak, seperti jasa yang luar biasa bagi bangsa dan negara, pengorbanan yang besar manfaatnya bagi masyarakat, serta pengakuan luas atas pencapaian itu.
Kendati demikian, pemberian tanda kehormatan kepada dua orang yang dianggap pengkritik keras kebijakan dan kinerja pemerintah masih meninggalkan tanya. Â
Frans Magnis Suseno menyebutkan, bahwa negara sebagai lembaga pemersatu suatu masyarakat, melalui penetapan aturan-aturan hukum yang mengikat.
Maka aturan hukum di Republik Indonesia diejawantahkan dalam hierarki sistem hukum, atau tata urutan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Perubahannya pada pasal 7 atau (1):
- UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Sebagaimana disampaikan oleh Menko Polhukam, Mahfud MD, "Pemerintah tidak boleh tidak memberikan tanpa alasan hukum. Jika bintang jasa tidak diberikan terhadap orang kritis berarti pemerintah mempolitisasi hak orang secara unfair."
Tentunya pemberian tersebut telah melewati proses verifikasi, peninjauan langsung, serta klarifikasi dari Badan Intelijen Negara, Kejaksaan Agung RI, Kepolisian Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dengan kata lain, dipandang dari kacamata hukum dan prosedur rumit yang mendasari pemberian penghargaan tersebut telah cukup sahih. Menurut Undang-undang proses itu tidak melanggar hukum negara.
Muncul hal berbeda ketika dirunut dari sisi birokrasi. Diringkas dari proposisi Riswandha Imawan tentang birokrasi, sebagai berikut:
- Birokrasi berkembang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan politik dalam masyarakat. Semakin makmur dan demokratis satu negara, kian banyak tuntutan.
- Birokrasi tidak dapat sepenuhnya netral dalam politik. Akibat kompleksitas fungsional masyarakat modern, maka muncul beragam kepentingan dalam birokrasi.
- Birokrasi bekerja dalam dua batasan kultur, yakni budaya administrasi dan budaya politik. Budaya politik akan paling memengaruhi penampilan birokrasi. Ini berakar dari teori birokrasi yang berada dalam teori sistem politik. Wujud sistem politik itu sendiri ditentukan oleh konfigurasi politik yang berlaku saat ini.
Belakangan, birokrasi telah berjaya mengikuti norma kemajuan zaman. Ditandai dengan upaya-upaya serius pemerintah untuk memendekkan rantai birokrasi, menyederhanakan prosedurnya, dan mempercepat prosesnya.
Mengakuri proposisi Riswandha di atas, bagaimanapun birokrasi pemerintah tidak terbebas sepenuhnya dari kepentingan politik. Termasuk dalam pemberian penghargaan kepada Fahri dan Fadli, muatan politis mengemuka, menimbang munculnya keraguan dari berbagai pihak atas parameter pemenuhan syarat pemberian penghargaan.
Akhirul Kata
Pemberian penghargaan Bintang Mahaputra terlanjur menimbulkan kegemparan di kalangan warganet dan berbagai pihak.
Secara hukum, pemberian tersebut tidak dapat dianggap melanggar sistematika hukun. Dipandang dari segi birokrasi, yang rentan terkontaminasi oleh kepentingan politik, penganugerahan itu menimbulkan tanda tanya tentang pemaknaan syarat pemberian penghargaan.
Berkenaan dengan itu, alangkah baiknya pemerintah --birokrat-- mengomunikasikan seluk beluk penentuan parameter dalam rangka memenuhi syarat pemberian penghargaan menurut Undang-undang.
Demikian, hal itu sehubungan dengan kian berkembangnya tuntutan terhadap azas keterbukaan informasi dan agar meredakan syak wasangka di kalangan publik.
Sumber rujukan: 1, 2, 3, 4, 5,
6. Frans Magnis Suseno. Etika Politik, Jakarta: Gramedia, 1994
7. Riswandha Imawan "Menciptakan Birokrasi yang Responsif untuk Pembangunan Martabat Manusia" dalam Sofian Efendi dkk. Membangun Martabat Manusia,.Jakarta: UGM Press, 1996.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H