Bab yang  terindah dari persahabatan sejati adalah mengerti dan dimengerti
(Seneca, filsuf Romawi)
"Braaaak...!!!," Rudulfo menghempaskan pantatnya pada lincak)* reyot yang nyaris ambrol di teras depan rumahku. Sebagian ijuk pengikatnya terputus. Wajahnya berlipat tujuh belas menggambarkan kekesalan berteras-teras.
Ah, pastilah permasalahan sama yang berulang menderanya, batinku. Tanpa bertanya, aku masuk ke dalam, menuju dapur, menyeduh kopi kesukaannya.
Air mendidih didiamkan dulu 2 menit sebelum dituang. Sendok kecil menghalau ampas mengapung, dari satu sendok makan peres bubuk kopi hitam, agar perlahan mengendap. Adukan lembut menyempurnaka seduhan itu.
Permakluman aroma kopi tanpa gula dan perkumpulan sekaleng rengginang tidak lantas membuat Rudolfo beralih dari perlamunannya.
Pandangannya kosong tertuju ke langit melompong. Matanya bolong sebesar bola pingpong.
"Kenapa?", tanyaku hati-hati.
Rudolfo menghela napas panjang, berkali-ka li, "Vinny!!! Vinny memutuskanku. Kurangku apa.....???"
Diseruputnya seduhanku. Riak di wajahnya berangsur tenang. Seperti permukaan telaga Situ Patenggang yang mendamaikan.
Sesungguhnya Rudolfo tergolong pria idaman umumnya wanita. Pembawaannya menarik, dengan wajah teduh dan postur di atas rata-rata.