Cara bicaranya pun tidak membosankan, romantis, meski Aku tidak tahu persis seperti apa, yang pasti berada di dekatnya terasa tenang.
Pun bukan tipikal pria jumawa, meski hartanya meruah. Rumahnya besar, terletak di huk, bergaya kekinian dengan garasi muat dua mobil SUV mewah,.
Sahabatku itu berumah di tikungan jalan raya di depan sana.
Berbeda dengan rumahku yang menyelip di tengah pepohonan jati emas, berhalaman tanah dengan jalur setapak berbatu, dan bangunan berdinding kayu berlantai tegel abu-abu.
Tapi entah kenapa, Rudolfo betah berada di teras depan rumahku.
Apakah karena kesejukannya yang tercipta dari bisikan angin silir-semilir di antara pepohonan? Atau sebab seduhan kopi pahitku?
Dua, tiga hari setiap minggunya pastilah Ia datang ke rumahku, menghabiskan kopi dan kudapan serta membualkan kisah-kisah menggembirakan dan kabar-kabar mengiris hati.
Aku pendengar setianya. Sesekali saja Aku menasehatkan soal kebaikan. Rudolfo menyukai langgamku menerima segala tuturan dan sambatannya.
Mungkin ini sambatan yang keenam atau ketujuh kalinya, aku tidak begitu mengingatnya.
Tetapi Aku tidak pernah bisa melupakan wajahnya yang gundah ketika menadah musibah, yang tak lain dan tak bukan akibat pertalian asmara.
Di usianya yang matang, Rudolfo berjaya sebagai seorang eksekutif muda berkecukupan. Kedudukan, harta, bersama potongan kerennya menjadi modal lebih dari cukup untuk berpendamping.