Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Insentif Pemerintah, Belajar dari Pengalaman Penyaluran Bansos

6 Agustus 2020   20:24 Diperbarui: 7 Agustus 2020   20:40 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Kamis (5/3/2020).(KOMPAS.com/MUTIA FAUZIA)

BPS mewartakan, bahwa PDB pada triwulan II mengalami kontraksi sebesar 5,32% y-o-y dibanding triwulan II 2019 (5/8/2020). Dibandingkan kuartal lalu (q-o-q), perekonomian Indonesia menyusut 4,19%. Penyusutan ini ditandai oleh ekonom sebagai "resesi ekonomi sudah di depan mata".

Mempersepsi resesi teknikal itu, dalam konferensi pers virtual (5/8/2020) Sri Mulyani menyatakan, "Pemerintah sedang kaji untuk menyiapkan pemberian bantuan gaji kepada 13 juta pekerja yang memiliki upah di bawah Rp 5 juta." Untuk merealisasikan insentif pemerintah itu akan digelontorkan anggaran sebesar Rp 31,2 triliun.

Kebijakan yang termasuk dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) itu, bersama program bansos (sembako, Bantuan Langsung Tunai, Program Keluarga Harapan, dan Kartu Prakerja), dimaksudkan untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga dan pertumbuhan ekonomi. Rencananya kebijakan santunan itu diluncurkan pada bulan September depan, mengawali kuartal III agar pertumbuhan ekonomi beringsut naik.

Dalam kesempatan lain, Presiden Jokowi sempat menyoroti rendahnya realisasi anggaran penanganan virus korona sebesar 20% atau Rp142 triliun. Terinformasi, sampai tanggal 06/08/2020 realisasi pencairan anggaran PEN tersebut baru mencapai 21,06% dari total pagu senilai Rp. 695,2 triliun (digambarkan dalam grafik di bawah ini).

Diolah dari berita CNN Indonesia per-tanggal 06/08/2020 pukul 7:23 (dokpri)
Diolah dari berita CNN Indonesia per-tanggal 06/08/2020 pukul 7:23 (dokpri)
Birokrasi pengadaan barang dan jasa membuat Kuasa Pengguna Anggaran cenderung berhati-hati. Hal ini ditengarai menjadi sebab. Pihak pemerintah juga menyebutkan, bahwa pencairan anggaran terkendala proses administrasi dan verifikasi.

Di sisi lain terdapat lesson learned, pelajaran yang diperoleh dari pengalaman penyaluran bansos, di mana terjadI permasalahan-permasalahan yang tidak dapat disepelekan.

Ombudsman telah menerima lebih dari 80% aduan terkait bansos. Saat ditutupnya posko pengaduan (31/7/2020) masuk 1.346 aduan, terdiri dari aduan tentang program sembako (52%), program BLT (42%), PKH (1,86%) dan Kartu Prakerja (2,6%).

Umumnya permasalahan di atas terkait ketimpangan data kependudukan sehingga memunculkan penyaluran yang tidak berkeadilan, prosedur dan persyaratan penerimaan yang rumit, salah sasaran, serta berbagai keraguan mengenai validitas data penerima.

Persoalan serupa bisa saja terjadi dengan penyaluran santunan bagi pegawai swasta bergaji di bawah Rp5 juta. Sayangnya, Saya  belum diperoleh keterangan sahih mengenai mekanisme penyaluran bantuan tersebut.

Kemungkinan besar dalam realisasinya, pemerintah akan menggunakan basis data dari BPJS Ketenagakerjaan dan atau bukti potong pajak penghasilan (PPh pasal 21) pegawai.

Untuk perusahaan yang dikelola dengan benar, dalam arti tertib membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan dan pemotongan pajak, dengan mudah akan didapatkan data pegawai yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta. Namun hanya berpatokan kepada data BPJS Ketenagakerjaan dan perpajakan saja, menurut hemat Saya, akan menimbulkan kerancuan.

Ihwal tersebut berdasarkan pengalaman selama mengelola perusahaan Commaditer Vennoonschap (CV), sehingga Saya memperoleh pemahaman sebagai berikut:

Pertama, dalam 3-4 tahun terakhir perusahaan-perusahaan disyaratkan untuk melengkapi Sertifikat BPJS dalam rangka pengadaan barang dan jasa (proyek), termasuk CV. Agar beban iuran tidak besar, maka perusahaan melaporkan jumlah pegawai secara minimal, yaitu 2 orang dengan gaji UMR setempat, bahkan di bawahnya.

Dengan itu perusahaan tersebut hanya membayar Rp.200 - Rp.300 ribu per-bulan. Padahal pegawai tetap yang dipekerjakan bisa lebih dari dua orang. Ditambah pegawai tidak tetap pada saat proyek berlangsung. Laporan jumlah pegawai kepada BPJS Ketenagakerjaan hanya bersifat formalitas dan diragukan kebenarannya.

Kedua, terkait laporan perpajakan setiap bulan dan tahunnya, menyangkut pemotongan pajak penghasilan (PPh) pegawai. Kecuali berkenaan dengan pemotongan Pajak Pertambahan Nilai (Ppn) 10% dan PPh proyek, laporan pajak lainnya bersifat self assessment. Pajak-pajak semacam ini (PPh ps 25 dan ps 21/22) cenderung direkayasa, sehingga setoran ke kas negara menjadi nihil. Kalaupun ada, jumlahnya minimal.

Sejauh ini, jumlah CV atau perusahaan kecil tidak diketahui secara pasti,  demikian pula halnya dengan jumlah pegawai tetap maupun tidak yang dimilikinya. 

Namun jika dianggap bahwa perusahaan sejenis ini termasuk UKM, maka data BPS yang mencatat 26 juta UKM berdasarkan sensus ekonomi tahun 2016 dapat digunakan sebagai acuan.

Untuk perbandingan, Bappeda Kabupaten Bogor (2018) mencatat pelaku usaha (UKM) berjumlah 700 ribu unit, dengan perbandingan usaha mikro 670 ribu dan usaha kecil 30 ribu.

Ceteris Paribus (mengabaikan faktor lain), jika perbandingan itu dianggap konstanta yang mencerminkan komposisi UKM se Indonesia, maka akan diperoleh estimasi 1.114.000 unit perusahaan kecil yang diperkirakan berbentuk CV dan dipergunakan sebagai ilustrasi saja. Perkiraan ini cukup logis, mengingat beberapa kawan seperjuangan memiliki 2 atau lebih CV. Termasuk saya yang (pernah) punya 2 unit.

Nah, seandainya setiap CV memiliki 3 pegawai (1 Komanditer, 1 Direktur, dan 1 pegawai administrasi/lapangan) dengan gaji di bawah 5 juta, maka terdapat sekitar 3.300.000 orang.

Ilustrasi itu menggambarkan jumlah pegawai swasta yang diragukan validitas datanya dan pada gilirannya akan mengacaukan penyaluran insentif pemerintah.

Faktor lain patut dipertimbangkan, berkenaan dengan sikap sebagian masyarakat yang cenderung permisif terhadap penyelewengan penyaluran bansos. Sementara oknum ketua RT dan RW lebih mendahulukan kerabatnya daripada yang berhak menerima.

Pertimbangan etis menjadi sangat elastis, ketika berhadapan dengan kebutuhan keuangan keluarga, misalnya. Penyelewengan penyaluran itu diperlakukan sebagai pemberian dari langit. 

Belajar dari pengalaman carut marutnya penyaluran bansos akibat validitas data yang diragukan ditambah fenomena korupsi sosial tersebut di atas, diperkirakan pemberian insentif tidak akan berlangsung mulus dan tepat sasaran.

Kendati bottom line yang diharapkan pihak "pusat" adalah realisasi seluruh penyaluran bantuan, namun kerancuan penyaluran insentif pemerintah berpotensi menimbulkan gejolak sosial tidak diharapkan.

Semoga para pembuat kebijakan mempunyai mekanisme dan action plan penyaluran insentif pemerintah yang rapi dan tepat sasaran.

Sumber rujukan: 1, 2, 3, 4, 5, dan 6

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun