Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kepakaran, dari Warung Kopi ke Ruang Digital

5 Agustus 2020   11:20 Diperbarui: 5 Agustus 2020   21:27 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: freepik.com/upklyak)

Account officer, tenaga pemasaran kredit, pada suatu lembaga pembiayaan tugas utamanya adalah mengusulkan fasilitas kredit nasabah potensial kepada komite kredit. Pada saat menduduki jabatan itu, Saya merasa berada di posisi istimewa.

Saya mesti memahami siklus usaha nasabah, selain menguasai teknis perkreditan. Keadaan itu memaksa saya untuk mempelajari berbagai bidang usaha, dari berbagai sumber: mulai pelaku usaha, pakar ilmu bisnis, buku-buku, sampai dari narasumber di warung kopi.

Dalam tempo tak terlalu lama, sayapun memiliki pengetahuan general tentang berbagai bisnis. Tersebab nature pekerjaan dan pemahaman tentang usaha, saya sering diajak nasabah dalam pertemuan bisnis penting.

Adalah sebuah "jaminan kepakaran" bagi mereka ketika dalam pertemuan bisnis itu dihadiri banker. Nasabah yang didampingi petugas bank menjadi bonafid di mata mitra usahanya. Mendadak, dan sering, saya menjadi pakar bisnis.

Dua dekade kemudian, saya kelabakan ketika merintis usaha. Bukan hanya sekedar gamang tetapi berantakan. Pemahaman tentang bisnis selama ini ternyata tidak applicable. Kepakaran dalam bidang bisnis binasa sudah, tiada jejak.

Rupanya ada tahapan-tahapan yang mesti ditempuh agar seseorang mempunyai pengetahuan mendalam tentang bisnis. Rasanya demikian pula halnya jika mendalami pemahaman atas bidang lainnya. Apalagi kemudian layak disebut pakar.

Beraneka pakar berkecembah sejak terbukanya "kemerdekaan" mengikuti runtuhnya kekuasaan Orba. Ditambah melesatnya tekhnologi digital yang memungkinkan setiap orang dengan leluasa mengekspresikan kehendaknya melalui media sosial.

Namun sebagian orang memanfaatkan kebebasan dan keleluasaan dengan substansi yang belum dapat dibuktikan keabsahannya. Apakah demi memperoleh viewers yang akan menggemukkan pundi-pundinya atau sebab lain, bukan menjadi bahasan di sini.

Adalah sebuah kanal YouTube, Dunia Manji yang dikelola musisi Anji, memuat wawancara dengan Hadi Pranoto. Dalam vlog tersebut Hadi Pranoto, disebutnya sebagai profesor dan pakar mikrobiologi, mengklaim bahwa antibodi temuannya telah menyembuhkan banyak orang dari infeksi akibat virus korona.

Sontak konten yang telah dihapus itu menuai kritik dari masyarakat. Kontroversi yang ditimbulkannya bermuara dari perihal antibodi yang tidak proven secara medis, sebutan profesor dan kepakaran Hadi Pranoto di bidang mikrobiologi.

Twit Ernest Prakasa tentang Anji(Twitter/Ernest Prakasa) [diunduh dari laman kompas.com]
Twit Ernest Prakasa tentang Anji(Twitter/Ernest Prakasa) [diunduh dari laman kompas.com]
Kepakaran itu dibantah oleh pejabat sebuah lembaga akademik terkemuka. Menurut pengurus IDI pernyataan Hadi Pranoto adalah penyesatan, menimbulkan kerancuan pemahaman medis di masyarakat.

Terlepas dari polemik yang berujung di ranah hukum itu, perlu dipertanyakan kepakaran yang akhir-akhir ini bermunculan. Apalagi di tengah situasi pandemi Covid-19, yang mana para ahli sedang berupaya keras menemukan antivirus dengan sangat serius. Jangan sampai ada pihak yang mengaku-aku sebagai pahlawan penemu antivirus, seperti Hadi Pranoto.

Perlu disimak ihwal kepakaran dan cara menyikapinya.

Ketentuan telah mengatur, bahwa guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan pendidikan tinggi. Terinformasi, sejak pemerintahan Habibie, pada lembaga penelitian kementerian, peneliti setingkat doktoral bisa menjadi profesor dengan menempuh prosedur tertentu.

Untuk meraih kepakaran, secara umum profesor telah menempuh kewajiban tambahan, antara lain:

  1. Memberikan kuliah dalam bidang keilmuan yang menjadi fokusnya, apakah itu ilmu murni, sastra, atau ilmu terapan, seperti disain, seni-budaya, hukum, bisnis, medis, dan lainnya.
  2. Mengadakan penelitian sesuai bidang keilmuan. Hal ini memungkinkan lahirnya profesor dari lembaga penelitian, bukan dari dunia akademik.
  3. Melakukan pengabdian kepada masyarakat secara non-profit, apakah bersifat konsultatif maupun pendampingan di pemerintahan atau bidang lain.
  4. Menggembleng akamedisi/peneliti muda mengembangkan keilmuan dan juga sebagai calon profesor penggantinya.

Tentu saja jenjang kepakaran atau profesor didapat dari pengetahuan mendalam tentang satu bidang ilmu, melalui selang waktu panjang, dan diakui oleh para akademisi setelah melampaui pembuktian.

Kepakaran juga didapat dari penitikberatan pada pengetahuan khusus (fokus pada bidang tertentu), mendalam, ekstensif, diperoleh dari pengalaman, dan proven serta diakui oleh publik, meskipun tidak serta-merta memperoleh gelar profesor secara akademik.

Tentang cara memeriksa status profesor selengkapnya dapat dilihat pada artikel Ruang Berbagi, di sini.

Ada saja orang yang "pandai dan banyak bicara" di warung kopi sampai ruang publik digital. Obrolan sedemikian menyihir audiens yang menganggapnya pakar. Tidak penting apakah "kepakaran" tersebut diperoleh dari tuntutan pekerjaan, pengalaman sekedar, atau sebab membaca berita selintas.

Pun demi popularitas, sebagian YouTubers menyiarkan konten dengan menghadirkan narasumber yang dikiranya pakar. yang akhirnya menyesatkan. Kemudian konten dimaksud menghadirkan kontroversi: dianggap pembohongan, pembodohan, dan penyesatan.

Utamanya di tengah bencana pandemi Covid-19 sekarang ini. Ramuan herbal dapat disesatkan sebagai obat mujarab penyembuh infeksi virus korona.

Akhirul Kata
Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh pengunggah konten kontroversial itu adalah sebuah bentuk penyelewengan sosial bersifat sekunder dan menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat penonton.

Oleh karenanya, pemangku utama, yakni masyarakat audiens YouTube dan pengguna medsos agar lebih bijak dalam memilih tayangan. Jika unggahan tersebut bersifat pembohongan, pembodohan, dan penyesatan, maka seyogyanya klik "unlike", "unsubscribe", dan " unfollow" merupakan pilihan lumrah.

Jangan sampai "kepakaran" di warung kopi berpindah ke ruang digital yang lebih kaya pemirsanya.

Sumber rujukan: 1, 2, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun