Dimensi waktu adalah persepsi manusia yang menjelaskan tentang selang antara berlangsungnya dua peristiwa yang diukur menurut detik, menit, jam, hari, tahun, dan seterusnya. Idealnya dimanfaatkan sebaik mungkin, dengan beraktivitas pada saat matahari masih bersinar dan mengistirahatkan tubuh pada saat matahari lelap diselimuti kelam.
Secara global, selang waktu dibagi menjadi tiga: 8 jam untuk berkegiatan; 8 jam untuk membangun waktu berkualitas dengan keluarga, beribadah, bersosialisasi, makan, membersihkan diri, membaca, dan lainnya; 8 jam berikutnya adalah tidur.
Ihwal jam mulai tidur masih dapat diperdebatkan, apakah sebaiknya pukul 8 atau jam 10 malam? Yang jelas tidur di atas tengah malam dan begadang adalah penyebab kurang tidur yang akan berpengaruh buruk terhadap kesehatan mental dan fisik seseorang.
Tanda dari kurangnya tidur adalah menguap berlebihan pada keesokan harinya. Selain itu akan berpengaruh kepada: obesitas; kulit tampak tua; berkurangnya kemampuan kognitif seperti menjadi pelupa dan menurunnya kemampuan berpikir; menurunnya libido; penyakit jantung; depresi; kanker; meningkatkan risiko kematian (sumber).
Bisa jadi banyak manusia Indonesia yang kurang tidur, seperti diduga oleh seorang Kompasianer, mas Zaldy Chan: "Manusia Indonesia harus belajar tidur! Hanya materi atau kurikulum serta bentuk belajarnya (saja), aku belum tahu."
Studi tentang berapa banyaknya manusia Indonesia yang kurang tidur belum diketahui (persisnya belum dicari). Tetapi pengalaman saya mengenai kurangnya tidur, kualitasnya dan pengaruhnya dapat dikisahkan dalam ulasan berikut.
Awal-awal memasuki dunia pekerjaan, waktu saya terbagi ideal: 1/3 hari bekerja, 1/3 hari tidur, sisanya untuk kegiatan lain. Normal saja sampai saya mengenal salah satu kolega yang juga sohib, almarhum Ayahanda dari Raffi Ahmad.
Nyaris setiap hari beliau mengetuk pintu kamar kost saya, jam 10 malam, kecuali Sabtu dan Minggu. Keperluannya adalah untuk menemaninya keluyuran: mengunjungi pub, makan bubur ayam, ngopi, atau sekedar nongkrong. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk menghabiskan waktu. Beliau mengalami kesulitan tidur alias insomnia. Saya pun turut tidur larut.
Lebih dari satu dekade kemudian beliau mangkat, terinformasi, karena terserang penyakit jantung.
Tahun-tahun berikutnya, saya terbiasa pulang kantor ketika matahari telah ditelan kelam. Setiap pulang saya tidak pernah melihat senja. Kebiasaan tidur larut terbawa meskipun sudah berpindah perusahaan. Kebiasaan itu kian menjadi ketika saya mulai berwirausaha.
Rasanya semakin parah. Kebiasaan tidur sangat larut itu kemudian menjadi semacam budaya.
Waktu sebanyak 24 jam dalam sehari dirasa tidak cukup. Inginnya ditambah menjadi 36 jam sehari, yang diperkirakan tidak akan mecukupi pula. Pun saat di peraduan, pikiran-pikiran melayang kepada pekerjaan. Alhasil badan hanya bisa dibolak-balik seperti ayam sedang digoreng. Kadang melek sampai suara adzan Subuh berkumandang.
Mesin di dalam tubuh bekerja keras nyaris tanpa istirahat demi mengejar peluang bisnis yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Mesin tubuh dipacu terus-menerus sehingga pada saatnya ribuan kabel di dalam kepala overheating, lalu korsleting dan menyebabkan prosesor yang bertanggungjawab terhadap kemampuan motorik, kognisi dan memori sebahagian terbakar. Hasil citi-scan mengonfirmasi kerusakan pada bagian itu.
Getun dengan keadaan tersebut, saya berusaha memutar ulang ingatan yang tersisa. Fragmentasi kehidupan tergambar jelas kendati tidak mungkin menjejaki masa silam. Butuh waktu lama untuk memulihkan kerusakan. Atau sudah tidak bisa?
Nasi menjadi bubur. Ya sudah, saya tambahkan saja bumbu, suwiran ayam dan seterusnya agar tetap bisa dinikmati.
Oleh karenanya, saya persembahkan hal-hal yang sebaiknya dihindari sebelum menuju pembaringan agar mendapatkan tidur berkualitas dan agar peristiwa yang saya alami tidak menimpa para pembaca.
Setidaknya ada beberapa hal yang bisa saya sarankan di bawah ini.
- Pulang dari berkegiatan pada waktunya, nikmati sinar senja dalam perjalanan pulang. Jikalau harus lembur, toh tidak mesti dilakukan setiap hari.
- Segerakan bersihkan diri begitu tiba di rumah, agar badan terasa segar saat tidur nanti.
- Makan secukupnya sebelum jam 8, jangan setelahnya dan atau ngemil agar tidak merasa kekenyangan yang membuat sulit tidur.
- Buang pikiran tentang pekerjaan kantor yang belum selesai, apalagi membawa pekerjaan kantor (paperwork) ke rumah. Percuma! Hal ini akan menyita waktu tidur, sementara pekerjaan yang dibawa tak bakalan beres.
- Menyimpan gagasan sebelum tidur. Ide/gagasan segar kadang berkecamuk pada saat menjelang naik peraduan. Gagasan dimaksud akan menyita waktu tidur ketika dipikirkan. Sebaiknya gagasan liar tulis di notes atau idea box dan baru besok diuraikan.
- Jangan membawa gawai ke tempat tidur. Segera matikan gawai dan laptop menjelang tidur. Setidaknya gawai itu dibisukan agar tidak mengganggu kenyamanan.
- Berdoalah, berterima kasih atas rejeki yang didapat hari ini dan agar dilancarkan keesokan harinya. Kemudian pasrah sepasrah-pasrahnya kepada Sang Maha Pencipta.
Kesimpulan
Waktu sangatlah berharga karena ia tidak bisa diputar ulang selayaknya film. Menurut keumuman, waktu dalam sehari dibagi tiga: untuk beraktivitas; bersosialisasi, refreshment, dan lainnya; serta tidur berkualitas.
Agar sehat secara fisik dan mental seyogyanya dilakukan cara di atas menjelang tidur: pulang pada waktunya, mandi, makan tidak terlalu malam, buang pikiran mengenai pekerjaan, simpan gagasan, tidak membawa gawai ke tempat tidur, dan berdoa.
Sebentar lagi menuju peraduan, sudah waktunya saya menutup gawai, laptop, dan berdoa sebelum tidur.
Semoga bermanfaat. Salam sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H