Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penyudahan Pamungkas

17 Juli 2020   09:45 Diperbarui: 17 Juli 2020   09:41 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah gedung kantor berdiri angkuh, bersanding dengan pusat perbelanjaan modern dan restoran yang tersohor kelezatan makanannya.

Mengendarai sedan, sepasang wanita dan pria, serta seorang wanita, mendatangi gedung kantor itu, yang sepertinya belum lama dibangun dan berhalaman gersang. Pokok-pokok pohon palem dan angsana belum demikian kokoh kedudukannya hingga harus ditopang potongan bambu agar tidak roboh.

Hanya satu pohon teduh, sebagian pucuk daunnya berwarna merah muda mulai menutupi dedaunan tua yang akan gugur. Di bawahnya pengemudi sedan memarkirkan kendaaraannya.

Seorang pria keluar lalu membukakan pintu bagi ibu mertuanya, ibunda dari wanita cantik berbusana keunguan . Sang wanita yang bersinar-sinar meraih tangan wanita separuh usia itu, menuntunnya ke lobi gedung.

Gedung terkemuka yang sekalian temboknya berkelir putih cemerlang dengan pilar-pilar dilabur warna hijau. Mengapit dinding-dinding dimana terletak jendela-jendela besar berbingkai bahan sama dan sewarna dengan kusennya, aluminium.

Oleh karenanya, sinar mentari, baik yang mumbul dari arah timur maupun cahaya senja, menjelang melindap di barat, menerabas bebas ke dalam ruang-ruang tanpa sekat.

Kecuali ruangan yang dengan sengaja dibuat tertutup. Dibangun sedemikian rupa agar suara dari dalamnya dijamin tidak dapat menembus dinding atau keluar melalui sela-sela pintu yang terbuat dari kayu berat kelas satu.

Di depan ruangan tertutup itulah sang wanita dan ibunda duduk menunggu antrian. Sementara sang pria menyelesaikan urusan administrasi di loket dalam lobi.

Meskipun masih pagi, tamu-tamu yang duduk di kursi besi panjang sudah terisi penuh. Sehingganya sebagian orang berdiri. Sebagian lagi di halaman sambil melamunkan asap rokok.

Semuanya berwajah tegang dalam diam, mencerminkan suasana hati semrawut, kecuali tiga orang baru datang itu. Sang pria, sang wanita cantik, dan ibundanya terlibat dalam pembicaraan ringan.

Suasana hening pecah berkeping-keping oleh canda tawa mereka nan renyah. Kontras dengan suasana hati kebanyakan orang di sekitar.

Pengeras suara berkumandang tepat pada pukul 9:00. Mereka bergegas menghabiskan gelak dan air mineral, lalu beranjak menuju pintu tertutup dari ruangan tertutup.

Orang-orang berwajah tegang dalam diam, mencerminkan suasana hati semrawut, memandang tegang pintu kayu berat kelas satu itu terbuka dan menutup kembali dengan anggun dan rapat.

Suasana kembali hening. Tiada pula suara dari ruangan tertutup yang sekiranya dapat membocorkan rahasia-rahasia yang berkecamuk di baliknya.

Setengah jam kemudian, pintu berbahan kayu berat kelas satu terbuka lebar. Tiga orang keluar langsung menuju halaman parkir yang gersang, dimana pokok-pokok pohon palem dan angsana belum demikian kokoh kedudukannya hingga harus ditopang potongan bambu agar tidak roboh.

Orang-orang berwajah tegang dalam diam, dan dapat dipastikan suasana hati tambah semrawut. Dengan tatapan mata setajam silet mengiringi tiga orang itu keluar gedung.

Sudah empat kali, tiga orang itu datang ke gedung itu. Ini menjadi kesibukan terakhir. 

Sebelumnya, sang pria dan wanita telah menempuh perjalanan bergelombang, beronakduri, penuh rintangan dan berbadai. Pada akhirnya perjalanan panjang tersebut --suka tidak suka-- harus diselesaikan. 

Sudah tiada guna saling berkeras hati.

Penyudahan pamungkas terhadap permasalahan yang telah disepakati dengan penuh kesadaran bersama. 

Puncak prahara telah berkesudahan.

Sekarang tiba saatnya untuk menenangkan perut-perut keroncongan yang belum diisi satupun sarapan.

Sang pria berujar kepada ibu mertuanya, "Mah, di dekat sini ada rumah makan Sunda yang enak. Maukah?"

"Aku merasa lapar. Ayam bakar, sambal gandaria dan sayur asam sepertinya cukup menggoda. Tanyalah kepada istrimu.......eh......sekarang mantan istrimu, ya?"

Sejenak, sang pria dan wanita itu saling berpandangan, kemudian  tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun