Musim liburan sekolah ditandai dengan anak-anak bermain bola, bersepeda atau sekedar bercengkrama bersama teman-temannya. Tingkah polah menyenangkan.Â
Keriuhan tersebut diiringi teriakan-teriakan, diikuti perkataan, "b*g* lu..!!!", dari seorang anak kepada temannya. Kata-kata kurang pantas lainnya meluncur dari mulut kecil itu disertai nada yang kian meninggi. Tak lama kemudian terdengar suara sesenggukan.
Perbedaan pendapat diikuti pertengkaran di kalangan anak-anak amatlah lumrah. Kelumrahan yang kemudian menjadi ganjalan ketika mereka melontarkan kata-kata kurang pantas.Â
Dewasa ini ucapan kurang pantas, juga perundungan, telah sedemikian menggejala. Rasanya, kisah seputaran perkara ini sudah cukup banyak.
Biasanya muara kesalahan dialamatkan kepada orangtua dalam mendidik. Dalam hal ini, ibu yang lebih banyak berinteraksi dengan anak-anak.Â
"Hanya ibu yang setiap waktu berada dekat dengan anak dan sanggup melakukannya", demikian klaim sementara orang.
Budaya, keterbatasan finansial dan besarnya tekanan yang dialami akan berpengaruh terhadap gaya pengasuhan anak.
Kemudian sosok bapak menjadi panutan berperilaku bagi anak laki-lakinya dan sebagai tauladan bagi anak perempuannya dalam bersosialisasi dengan dunia pria.
Namun, adakalanya bapak memiliki waktu lebih banyak dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Hatta, ada keadaan di mana saya mempunyai banyak waktu bagi anak perempuan saya yang baru masuk SD.
Yaitu ketika menjalani peralihan dari "bekerja kantoran" lalu merintis usaha sendiri. Dengan berusaha sendiri, waktu terasa lebih lentur sehingga bisa menjalankan kegiatan "ternak teri", alias mengantar anak dan mengantar istri.