Ada saatnya harus diakui, pada masa lalu saya menggunakan preferensi penampilan atau gaya hidup dalam berinteraksi dengan orang lain. Pengalaman kemudian mengajarkan tentang nilai-nilai tidak kelihatan yang layak menjadi pertimbangan dalam hubungan pertemanan maupun relasi bisnis.
Tahun 1990-an saya bekerja pada sebuah kantor cabang perusahaan keuangan swasta di Jakarta. Pekerjaan saya berkaitan dengan lending (pinjaman/kredit), yaitu melakukan solisit, visit kepada nasabah potensial lalu membuat usulan atas permohonan kredit klien tersebut, atau biasa disebut Account Officer (AO).
Pertimbangan utama AO dalam penyaluran pinjaman dana kepada nasabah adalah 5 C's of credit: Character, Capacity, Capital, Condition, Collateral.
Kemudian konsiderans tersebut saya interpretasi, bahwa nasabah layak mendapatkan kredit adalah mereka yang memiliki usaha berjalan lancar, kinerja mutasi rekening baik, jaminan fisik memadai, dan berpenampilan mengesankan secara materiil.
Kala itu, penampilan mentereng, bermobil mewah, menenteng mobile phone sebesar tas jinjing, dan bergaya hidup kelas atas merupakan impian setiap orang. Nasabah semacam itupun cenderung didahulukan pelayanannya dalam proses kredit.
Sementara itu, seorang bapak-bapak berpakaian lusuh datang mengendarai Taft Kebo (Daihatsu Taft Diesel generasi pertama) yang reot, karena kerap dipakai sebagai mobil stooring pembawa peralatan bahkan menarik metromini mogok, dengan penampilan sangat bersahaja. Ia menyetor ke rekening simpanannya nyaris setiap hari, kecuali Minggu dan tanggal merah, dengan uang recehan.
Ya...uang recehan hasil penarikan ongkos angkutan umum metromini miliknya!
Perlu diketahui, saat itu metromini adalah salah satu kendaraan penumpang umum populer selain kopaja, kowanbisata, mikrolet, dan PPD di Jakarta.
Suatu ketika nasabah lusuh tersebut, sebutlah namanya Sutarno, menyampaikan keinginan meminjam sejumlah uang yang akan digunakan untuk pembelian sebidang tanah untuk pool metromini. Lahan diperlukannya sebagai tempat penyimpanan armada, workshop pemeliharaan dan perbaikan, serta kantor operasional.
Permohonan pak Sutarno adalah sebesar Rp. 100 juta. Berdasarkan perhitungan COLA (cost of living adjustment) dan eskalasi harga properti, diperkirakan permohonan kredit tersebut bernilai sedikitnya sepuluh kali lipat pada saat sekarang.
Permohonan kredit sebesar itu harus diusulkan kepada kantor pusat, mengingat limit pemberian pinjaman pada kantor cabang tidak mencukupi. Sedangkan komite kredit di kantor pusat merupakan "belantara menakutkan" untuk junior account officer seperti saya.