Sekitar tahun 1990-an, dalam suatu sesi pelatihan Officer Development Program pada salah satu perusahaan lembaga pembiayaan disebutkan, bahwa bisnis Food & Beverages (F&B) adalah salah satu jenis usaha -secara teoritis- yang tidak bisa dibiayai.Â
Kendati menurut cash flow dan secara rasio keuangan dapat dikalkulasi, namun ihwal selera merupakan faktor dari bisnis kuliner yang tidak bisa dikuantifikasi.
Siapa yang bisa menjamin, bahwa suatu restoran bisa memenuhi selera banyak orang (pasar)? Sedangkan market guarantee (jaminan pasar) menjadi konsideran penting dalam keputusan pemberian pinjaman.
Oleh karenanya pada masa itu usaha rumah makan umumnya dibiayai oleh pribadi atau investor yang memang berminat di bisnis kuliner, bukan oleh lembaga pembiayaan. Entah pada zaman sekarang.
Sepuluh tahun kemudian lha kok ndilalah saya berkecimpung di dunia bisnis F&B.
Mau tidak mau dalam menjalankan sektor riil tersebut Return of Investment (ROI) harus tetap digenjot agar payback period (jadwal pengembalian dana) investasi dapat dicapai sesuai target.
Sebagai pengelola bisnis kuliner, saya berusaha menawarkan kekhasan yang tidak dapat ditemukan di gerai lainnya, seperti:Â
1). penyediaan mamin yang mempunyai cita rasa tersendiri;
2). desain tempat dan atmosfer ruang yang unik;
3). penyediaan hiburan sesuai karakter konsumen;
4). pelayanan yang prima; Dan
5). Relationship (hubungan baik) dengan pelanggan.
Baca juga:
Pelayanan, Faktor Penting dalam Usaha Penyediaan Makanan dan Minuman
dan
"Relationship", Faktor Penentu Keberhasilan Usaha Kuliner
Ternyata ada hal lain yang melingkupi lima faktor kunci keberhasilan usaha kuliner tersebut di atas dan merupakan pertimbangan penting. Tetapi sebelum sampai kepada uraian tentang hal itu, ada baiknya saya kisahkan dua ilustrasi di bawah ini.
Pertama. Sekitar tahun 2000-an seorang tokoh terkemuka, yang kelak dikenal sebagai koruptor e-KTP, bersama rombongan masuk ke sebuah kafe di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.Â
Para waiters/waitresses tergopoh-gopoh melayani permintaan para tamu itu. Ia minta agar background musik diganti dengan musik kesukaannya.
Tak lama setelah musik tersebut menggema, satu demi satu para pengunjung beranjak keluar dan pindah ke kafe lain. Demikian karena musik latarnya tidak sesuai dengan selera tamu, tapi memenuhi selera sang tokoh saja, yang notabene adalah pemilik kafe itu.
Kedua, seorang investor di Semarang meminta jasa agar dibuatkan sistem operasional, keuangan, marketing, dan menu untuk sebuah venue yang baru saja dibangunnya, sebagaimana kafe di Jakarta. Saya menyanggupinya dengan komitmen, bahwa dalam tempo tiga bulan sudah bisa hand over sistem pengelolaan.
Selama satu bulan tim yang saya bawa dari Jakarta melakukan test panel (uji coba rasa, operasional dan lainnya) di berbagai tempat makan, dari mulai warung kaki lima sampai restoran di hotel bintang lima. Dari tempat kuliner yang tidak terkenal sampai dengan yang populer.
Data yang didapat dari kunjungan langsung maupun pengumpulan informasi itu terdiri dari: tipe demografik, daya beli, selera, dan lain sebagainya, kemudian dianalisis menjadi sebuah rancangan konsep menu dan suasana yang ditawarkan. Dari hasil rancangan itu baru dicari sumber daya pendukung, diantaranya, jaminan ketersediaan bahan baku (supply guarantee).
Meskipun rencana penjualan tidak bisa dikuantifikasi secara tepat, namun ia bisa diprediksi dengan menggunakan asumsi, antara lain, nilai belanja per-orang tamu (cover per-pax) dikalikan estimasi jumlah tamu (occupancy).
Ternyata saat launching sampai dengan waktu penyerahan (hand over) sistem operasional, tempat duduk kafe di Semarang itu senantiasa full booked. Dalam tiga bulan pertama penjualan telah melampaui ekspektasi.
Benang merah yang dapat ditarik dari dua gambaran di atas, bahwa "selera" menempati posisi penting dalam pengelolaan bisnis kuliner. Selera yang menurut keinginan umum dari calon pelanggan lebih utama dibanding selera pribadi pemilik atau pengelola kafe, jika sasarannya adalah revenue yang optimum dan kemudian keuntungan yang tinggi.
Sehingga dapat digeneralisasi, bahwa rasa masakan-minuman bersama faktor-faktor lain dapat memenuhi selera yang dikehendaki calon pelanggan dan bukan berdasarkan selera pemilik semata.
Alasannya sederhana, selera melibatkan kelima indra manusia: yang terlihat, terdengar, disentuh, dibaui, dan dikecap yang disesuaikan dengan keinginan umum.
Bila selera pelanggan menjadi pertimbangan utama, maka kelima faktor kunci keberhasilan usaha kuliner akan diperlakukan sebagai berikut:
- Daftar menu makanan minuman disesuaikan dengan rasa yang diharapkan oleh pelanggan.
- Tempat menawarkan ambience atau suasana yang diinginkan oleh sebagian besar tamu.
- Pemilihan jenis musik latar yang sesuai dengan karakter kafe.
- Sesuaikan dengan tipe pelayanan, apakah bergaya fine dining atau seperti rumah makan biasa.
- Jangan lupa gaya relationship yang digunakan dalam membina hubungan baik dengan dengan pelanggan.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa sebelum membuka bisnis F&B ada baiknya membuat kalkulasi atau menakar selera pelanggan yang menjadi target market agar berjaya.Â
Demikian agar makanan dan minuman yang ditawarkan tidak sekedar menjadi bahan pemuas lapar dan dahaga saja, tetapi ia bersama semua faktor kunci keberhasilan di atas merupakan katarsis bagi para pelanggan dalam memenuhi pengalaman sosial dan budaya.Â
Dengan kata lain, ia dengan segala fasilitas yang ditawarkan akan menjadi refreshment (penyegaran kembali) bagi para tamu.Â
Akhirnya, perilaku adaptif dari entitas usaha itu dengan menghitung selera orang banyak akan mendatangkan pula banyak pelanggan yang pada gilirannya besar pengaruhnya terhadap peningkatan revenue (pendapatan) bisnis kuliner.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H