Pohon-pohon berkelebat berlarian dari balik kaca mobil. Pandanganku jauh terlempar melampaui batas cakrawala menerbangkan kegelisahan tidak berkesudahan. Aku bimbang.
Lamat-lamat ingatanku mengembara kepada masa silam, terhampar mata kuliah politik tentang kekuasaan. Menurut hampiran kelembagaan, kedudukan atau posisi seseorang diperoleh dari struktur sosial dan birokrasi untuk kepentingan mengemban tugas mulia tertentu.
Posisi tersebut akan mengusung status seseorang di mata umum, sebagaimana diterangkan oleh sosiolog Peter Blau, dimana status ialah posisi dalam masyarakat sesuai afiliasinya. Pada kenyataannya, status itu kerap disalahartikan dan kemudian melahirkan tindakan yang tidak patut ditunjukkan di hadapan publik.
Kemudian penyalahartiaan itu digunakan sebagai alat kekuasaan, yang dengan meminjam nalar Adam Kuper dan Jessica Kuper, bahwa dengan otoritas yang dimilikinya seseorang bisa berkuasa terhadap orang lain. Padahal otoritas --tepatnya posisi atau kedudukan-- dimaksud diperoleh karena ia berada dalam suatu kelembagaan, birokrasi, lembaga, parlemen, politik atau organisasi lainnya.
Dalam keadaan tertentu, kekuasaan itu digunakan untuk memaksa dan memerintah orang lain yang dipandang inferior demi memenuhi kehendaknya. Pemaksaan kehendak yang kemudian menabrak kesepakatan bersama atau aturan-aturan untuk kepentingan umum demi memenuhi kepentingan pribadi dan memperkaya diri.
Adalah seorang sahabat yang beruntung menjabat sebagai anggota parlemen. Suatu ketika dalam sebuah perjalanan pulang kantor, beliau "memerintahkan" kepada seorang anggota Polisi Lalu Lintas untuk menyingkirkan kerucut pembatas agar kendaraannya bisa menerabas kemacetan.
Sesuai tugas, polisi tersebut menolak permintaan itu. Namun kemudian bergegas menuruti perintah setelah ia mengetahui orang yang menyuruhnya adalah anggota dewan yang terhormat.
Aku datang ke kota ini bukan karena status sahabatku sebagai anggota parlemen. Bukan!
Posisi terhormat itu sudah lama ditanggalkannya. Berganti status menjadi orang paling berkuasa di kota itu. Rudolfo sekarang menduduki posisi sebagai Bupati Kepala Daerah Kota Makmur.
Ada tugas khusus yang membawaku untuk menemuinya. Juga kepentingan tersendiri yang harus kusampaikan kepada Rudolfo sebelum orang lain melakukannya . Kedekatan dan persahabatan masa lampau merupakan keuntungan tersendiri yang lantas mendorongku untuk itu, kendati sebaliknya aku merasakan keengganan yang sangat dalam melakukannya. Ia dulu telah banyak berjasa dengan membantuku waktu masih kuliah.
Kegelisahan dalam perjalanan timbul akibat perasaan tidak enak hati --sungkan-- untuk meminta kerelaan Rudolfo pada saat ini. Tetapi apa boleh buat?
Pengemudi kendaraan kantor menyadarkan aku dari lamunan, bahwa perjalanan sudah berakhir. Tampak sebuah rumah mewah bertingkat dua dengan barisan aneka mobil mewah dijaga satuan pengaman di depan mata.
Setelah menyerahkan kartu identitas dan menerangkan keperluan, aku di antar oleh petugas yang gagah menuju ruang tamu yang luas, dingin, dan angkuh. Tak lama kemudian seorang pria yang kukenal datang menghampiri, mengembangkan senyum lebar dan memeluk erat.
"Sudah lama kita tidak bertemu dan selama itu pula tidak ada komunikasi, sembilan atau sepuluh tahun?" ucap Rudolfo memancarkan keramahan yang tidak berubah dari dulu.
Kami bercakap-cakap membualkan kenangan semasa kuliah. Kami pun terbahak-bahak mengingat kekonyolan waktu muda. Kenangan demi kenangan membuncah dari ruang dada, ada yang menyenangkan dan ada pula yang menyedihkan. Namun kenangan menyedihkan terbayar dengan kesenangan pada masa kini. Terlihat dari raut wajah Rudolfo yang sumringah.
Saking senangnya, Rudolfo kemudian meminta ajudannya agar para tamu lain menunggu di teras.
Rudolfo berseri-seri, "selain melepas kekangenan, kira-kira ada keperluan apa nih? Sama sohib lama enggak perlu sungkan. Kalau ada kesulitan, utarakan saja."
"Atau ada yang perlu diurus?" Rudolfo melanjutkan sembari mengedipkan mata.
Dengan posisinya sebagai kepala daerah yang kaya sumber pendapatan daerah, tidak diragukan status Rudolfo menjadi semakin mentereng. Kekuasaannya pasti bisa menggerakkan bawahannya dan warga yang merasa inferior memenuhi kepentingan pribadinya.
Aku meyakini itu dan fakta-fakta telah gamblang menunjukkan hal itu. Untuk tujuan itulah aku secara pribadi menemuinya.
Rasa sungkan kian menderaku, namun setelah menimbang-nimbang sejenak akupun akhirnya menetapkan ketentuan.
"Sebentar, aku mengambil dokumen penting yang mesti kusampaikan kepadamu, Rudolfo," Aku segera bangkit berdiri dari sofa berlapis kulit lalu menuju mobil dinas.
Di atas jok belakang mobil kuperiksa secara seksama sebuah map berisi surat-surat dan berkas-berkas pendukung, memastikan apakah sudah lengkap dan tidak ada yang tercecer.
Aku menguatkan diri, menepiskan keraguan dengan menghela nafas panjang, lalu membawa serta map berlogo burung garuda dari kantorku, lembaga sampiran negara pemberantasan korupsi, ke dalam rumah megah itu.
Aku melangkah dengan penuh percaya diri, kini rasa sungkan itu telah sirna.
~~Selesai~~
Sumber bacaan:
- Muhtar Haboddin dan Muh. Arju, "Pengantar ilmu Politik", Universitas Brawijaya Press (UB Press), 2016.
- Cuzzort dan King, "Kekuasaan Birokrasi, Harta dan Agama", 1987.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H