Pengemudi kendaraan kantor menyadarkan aku dari lamunan, bahwa perjalanan sudah berakhir. Tampak sebuah rumah mewah bertingkat dua dengan barisan aneka mobil mewah dijaga satuan pengaman di depan mata.
Setelah menyerahkan kartu identitas dan menerangkan keperluan, aku di antar oleh petugas yang gagah menuju ruang tamu yang luas, dingin, dan angkuh. Tak lama kemudian seorang pria yang kukenal datang menghampiri, mengembangkan senyum lebar dan memeluk erat.
"Sudah lama kita tidak bertemu dan selama itu pula tidak ada komunikasi, sembilan atau sepuluh tahun?" ucap Rudolfo memancarkan keramahan yang tidak berubah dari dulu.
Kami bercakap-cakap membualkan kenangan semasa kuliah. Kami pun terbahak-bahak mengingat kekonyolan waktu muda. Kenangan demi kenangan membuncah dari ruang dada, ada yang menyenangkan dan ada pula yang menyedihkan. Namun kenangan menyedihkan terbayar dengan kesenangan pada masa kini. Terlihat dari raut wajah Rudolfo yang sumringah.
Saking senangnya, Rudolfo kemudian meminta ajudannya agar para tamu lain menunggu di teras.
Rudolfo berseri-seri, "selain melepas kekangenan, kira-kira ada keperluan apa nih? Sama sohib lama enggak perlu sungkan. Kalau ada kesulitan, utarakan saja."
"Atau ada yang perlu diurus?" Rudolfo melanjutkan sembari mengedipkan mata.
Dengan posisinya sebagai kepala daerah yang kaya sumber pendapatan daerah, tidak diragukan status Rudolfo menjadi semakin mentereng. Kekuasaannya pasti bisa menggerakkan bawahannya dan warga yang merasa inferior memenuhi kepentingan pribadinya.
Aku meyakini itu dan fakta-fakta telah gamblang menunjukkan hal itu. Untuk tujuan itulah aku secara pribadi menemuinya.
Rasa sungkan kian menderaku, namun setelah menimbang-nimbang sejenak akupun akhirnya menetapkan ketentuan.
"Sebentar, aku mengambil dokumen penting yang mesti kusampaikan kepadamu, Rudolfo," Aku segera bangkit berdiri dari sofa berlapis kulit lalu menuju mobil dinas.