Gadis itu tersipu malu-malu tapi mau ketika menerima es itu, senyumnya amat menawan, membuat hatiku tertawan.
Dari peristiwa itulah perkenalan berlanjut ke pembicaraan menyenangkan. Setiap pagi kami janjian untuk ketemu.
Aku merasa nyaman bercerita tentang segala hal kepadanya. Iapun nyaman mengisahkan mengenai kehidupannya.
Diam-diam kami saling menyukai, dan semuanya mengalir begitu saja. Kami menjadi dua sejoli yang sedang jatuh cinta, saling berjanji untuk bertemu di Taman Peranginan.
Kami tidak lagi duduk terpisah sendiri-sendiri, sekarang duduk berhimpitan dan berpelukan. Taman itu tiba-tiba saja menjadi indah, penuh pohon trembesi dan mahoni rimbun menyejukkan, bunga sepatu yang hanya berwarna merah dengan kupu-kupu beterbangan di sekitarnya dan, tentu saja, pedagang asongan yang beredar. Bedanya, sekarang aku jarang membeli dagangannya, ia yang lebih sering mengacungkan tangan.
Sekali saja aku mengajaknya makan bakso di dekat bundaran air mancur, itupun dari hasil obyekan yang lumayan.
Aku senyum-senyum sendiri seperti orang sinting menatap dinding, membayangkan hari-hari penuh kisah kasih dengannya, sembari menyeruput segelas teh hangat yang sudah dingin, "hah.....tawar...? Tidak pakai gula......???"
"Gula, kopi, minyak goreng, beras dan lauk pauk habis, Pakne...! Kamu harus segera mencari uang. Usaha gih...!!!", sambil mengangsurkan sepiring singkong rebus, Bune berkata ketus seperti biasanya.
Udara pagi yang gerah terasa mampat. Omelan Bune membahana memecah suasana rumah petak sewaan di bantaran kali Ciliwung yang sesak, ditambah rengekan anak bungsu meminta sarapan.
Aku meraup dua potong singkong, menyisakan setengah gelas teh tawar yang sudah dingin, melesat ke Taman Peranginan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI