Malam bersimpuh meleleh menuju subuh, wajah-wajah sendu penuh nafsu rebah pada sofa ungu.
Fergusso terbiasa memendam rasa yang mengonfirmasi sebuah pernyataan, bahwa diam tidak akan pernah membuatnya menjadi perkasa. Tidak juga bisa menguasai jiwa Felicia.
Sebuah sajak yang telah dirapal sejak semalam menghilang. Satu persatu huruf-huruf tersusun merupa kata indah mendadak berhamburan meninggalkan sekumpulan keinginan dalam pikiran.
Kalimat yang sedianya meluncur dari rongga dada terhenti di tenggorokan, menjadi gumaman.
"Ngomong apa? Yang jelas dong...!", ujar Felicia mendekatkan telinganya membuat kening Fergusso meneteskan bulir-bulir keringat sebesar biji jagung.
Pegangan tangan gadis ceria pada lengan pria pemalu itu meluluh-lantakkan pikiran, apalagi ketika Felicia menyandarkan tubuh wanginya sehingga belahan kemeja putih mempetontonkan gundukan bersih yang.....aaaaah....
Isi kepala Fergusso melayang, "....ergh...iya deh, aku yang akan mengerjakan pe-ermu".
"Horeeee, asyik...kamu memang selalu baik kepadaku", Felicia kegirangan melompat-lompat kecil, gunung-gunung di dadanya turut melompat senang.
Melihat tubuh dalam balutan rok span abu-abu rapat dengan atasan kemeja putih kekecilan sehingga kancingnya terlepas di beberapa bagian, digabung wajah latino berhidung mancung, berhias sepasang bibir bak milik Angela Jolie, dan tatapan mata tersapu poni menganga dahaga digoda, serta merta membuat bagian bawah badan Fergusso mengeras tanpa diminta.
Akhirnya, di kamar mandi sekolah Fergusso melepas ketegangan tak terkendali.
Teman laki-laki yang melihatnya barangkali akan bereaksi serupa, meski tak sama, termasuk para pria di luaran sana.