Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menumpang Tinggal di Rumah Kerabat

17 April 2020   06:33 Diperbarui: 17 April 2020   07:01 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Alexas_Fotos dari pixabay.com

Mereka yang akan melanjutkan sekolah atau alasan lain di perantauan bisa memilih bertempat tinggal dengan cara indekos atau menumpang di rumah kerabat.

Bagi yang memiliki kemampuan, akan memilih kos dengan berbagai opsi kenyamanan dan keleluasaan. Sedangkan mereka yang terbatas keuangannya dan kebetulan mempunyai kerabat di perantauan, tak ada salahnya mondok tanpa membayar alias menumpang tinggal.

Namun bagi sebagian orang merasa canggung, ketika menumpang tinggal di rumah kerabat. Alasan-alasan kecanggungan maupun cara mengatasinya telah banyak diulas oleh berbagai referensi mengenai hal itu.

Ada saatnya saya mesti menumpang di tempat Pakdhe, kakak tertua dari ibu, karena rumahnya dekat dengan tempat saya melanjutkan pendidikan.

Tiada alasan cukup untuk memilih kos, karena:

  • Rumah Pakdhe yang luas berada sangat dekat dengan kampus.
  • Biaya kos amatlah memberatkan untuk ukuran bapak saya yang pegawai negeri sipil (PNS, sekarang ASN), dimana PNS waktu itu tidak seberuntung ASN saat ini.

Dengan itu, saya menumpang di kerabat dekat selama masa kuliah, dengan mengalami berbagai suka duka.

Makanan cukup tersedia untuk banyak kepala, Pakdhe dan Budhe beserta lima putra, tiga asisten rumah tangga, dua supir, dan tiga kerabat yang menumpang tinggal termasuk saya.

Sarapan, makan siang dan makan malam tersedia setiap saat, sebab keluarga itu berkecukupan. Pakdhe memiliki perusahaan konstruksi, spesialis struktur fondasi dan soil engineering, yang konon terbesar di Indonesia pada jamannya.

Uang kiriman setiap bulan bisa difokuskan untuk membeli buku dan keperluan kuliah lainnya, serta jajan. Saya tidak merokok, mengingat keterbatasan anggaran untuk itu.

Konsekuensi dari ketersediaan makanan, yang otomatis mengurangi biaya makan, adalah inisiatif untuk turut mengerjakan pekerjaan rumah, seperti menyapu halaman, mencuci dan merawat mobil-mobil (seingat saya ada sekitar 15 mobil di garasi dan bergelimpangan di halaman rumah).

Juga membantu belajar ketika putra bungsu dan keempat dalam mengerjakan tugas sekolah, waktu itu masing-masing masih SD dan SMP. Begitu cukup umur, saya pun mengajarkan mereka cara mengemudi mobil.

Sering mengantar Budhe ke berbagai keperluan dan anak-anak ke sekolah manakala supir-supir berhalangan.

Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan saling bergantian dengan saudara-saudara lain yang turut menumpang di rumah Pakdhe.

Kendati bukan merupakan obligasi, namun kegiatan-kegiatan itu menjadi liabilitas bagi saya, sungkan jika tidak berbuat apa-apa.

Berbeda dengan tradisi ngenger yang berkonotasi feodalistik, Pakdhe dan Budhe tidak memperlakukan kerabat yang menumpang di rumahnya dengan semena-mena. Sebaliknya, perhatian mereka tidak bisa dilupakan seumur hidup.

Salah satu misal, ketika saya mengalami gejala sakit tipus, dirawat sebagaimana mestinya. Banyak kebaikan-kebaikan lain yang akan panjang bila diceritakan dalam artikel pendek ini.

Menjelang akhir kuliah, saya sering diajak Pakdhe ke proyek-proyek konstruksi yang sedang ditangani dan --secara tidak langsung-- dilatih hitungan teknis sederhana, sangat berbeda bidang dengan ilmu pengetahuan yang saya pelajari. Ibarat bumi dan langit.

Pakdhe melatih saya dengan keras dan mengajarkan keberanian menghadapi situasi apapun di lapangan.

Pengalaman tidak terlupakan, ketika beliau mengajak ke Pertamina Cilacap. 

Setelah sampai lokasi, Pakdhe mengangsurkan tas kerja, dan meminta saya menemui pimpinan untuk membicarakan tentang kontrak kerja konstruksi, sementara beliau melepaskan baju menyisakan kaos oblong lalu tidur-tiduran di mobil.

Pakdhe melepas saya sendirian menuju "sarang macan" tanpa tahu apa yang harus dinegosiasikan di dalam. Untunglah semuanya berjalan lancar, kontrak kerja konstruksi didapat.

Lebih dari dua dekade kemudian, saya terjun di dunia konstruksi, bidang sangat berbeda --bumi dan langit-- dengan bidang keilmuan yang saya tekuni waktu kuliah. Ternyata, hasil gemblengan almarhum Pakdhe baru terasa belakangan, jauh hari kemudian.

Rencana Sang Maha Perancang "Grand Design" tidak pernah saya pahami, sampai saatnya itu tiba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun