Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Blessing in Disguise di Balik Krisis Ekonomi akibat Covid-19

11 April 2020   07:07 Diperbarui: 11 April 2020   21:53 1115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Resesi (Sumber: thikstockphotos)

Jika pandemi virus corona berkepanjangan, maka ceteris paribus (mengabaikan faktor-faktor lainnya) diperkirakan akan membawa perekonomian dunia kepada krisis ekonomi terburuk dalam sejarah.

Ketua IMF, Kristalina Georgieva, mengindikasikan terjadinya krisis ekonomi terburuk sejak The Great Depression tahun 1930-an akibat pertumbuhan negatif ekonomi global pada tahun ini (9/4/2020).

Depresi ekonomi besar tahun 1929 - 1939 yang melanda Amerika Serikat, dikenal sebagai "krisis malaise", timbul akibat didera harga saham yang berjatuhan secara dramatis. Keruntuhan yang menyebabkan multiplier effect, seperti: ambrolnya kepercayaan konsumen kepada pasar saham, ambyarnya dunia investasi, terhentinya sektor riil dan seterusnya.

Masyarakat juga kehilangan kepercayaan kepada perbankan, dengan melakukan rush besar-besaran, yang memaksa bank melikuidasi kolateral pinjaman. Banyak bank mengalami kebangkrutan dan penutupan.

Ambruknya fundamental ekonomi tersebut melonjakkan tingkat pengangguran. Sementara itu sektor produksi merosot, dan harga jual hasil pertanian jatuh.

Hal-hal itu menyeret peningkatan kredit macet yang melambungkan penyitaan jaminan, sehingga masyarakat Amerika yang terbiasa memperoleh aset melalui hipotik terpaksa harus rela kehilangan rumahnya.

Krisis Malaise tersebut telah memporak-porandakan sektor-sektor produktif, meningkatkan jumlah pengangguran dan kelaparan, merebaknya tunawisma serta hilangnya harapan hidup banyak orang.

Pandemi virus corona pada saat sekarang mengharuskan beberapa negara melakukan lockdown dan pembatasan yang pada gilirannya akan berdampak kepada penutupan banyak perusahaan dan pengurangan tenaga kerja secara masif.

Capital market mengalami fluktuasi yang mendebarkan bagi pelaku pasar saham. Pasar yang sedang tumbuh dan negara-negara berkembang akan mengalami pukulan paling telak, yang memerlukan bantuan asing senilai ratusan juta Dollar.

Terlepas dari kepentingan IMF untuk "melariskan bantuan asing (foreign aid) penyebab depedensi ekonomi-politik" dengan menggulirkan persepsi krisis perekonomian global, perlu dicermati potensi penurunan riil pendapatan per-kapita dalam masa mendatang, sebagai dampak dari bencana kesehatan yang sedang melanda dunia tersebut.

Penurunan itu dipicu oleh merosotnya produktivitas berbagai industri yang mengancam terjadinya lay off karyawan secara besar-besaran. Pengangguran itu akan berdampak kepada peningkatan non-performing loan pada neraca perbankan.

Meski Indonesia tidak menerapkan lockdown, namun demikian pemerintah mengeluarkan kebijakan relaksasi dan restrukturisasi pembayaran kewajiban merespon dampak sektor usaha akibat covid-19.

Ilustrasi resesi (Gambar oleh Gerd Altmann dari pixabay.com,)
Ilustrasi resesi (Gambar oleh Gerd Altmann dari pixabay.com,)
Selain itu, pemerintah juga menggelontorkan tambahan belanja negara berupa stimulus sebesar Rp 405 triliun yang terdiri dari program perlindungan sosial dan kesehatan, pemulihan ekonomi, insentif pajak dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR).

Hal itu sejalan dengan konsep welfare state yang menegaskan, bahwa negara menjamin terselenggaranya kesejahteraan rakyat.

Namun demikian, menurut hemat saya, kebijakan tersebut bersifat penanggulangan jangka pendek, karitatif, dan insidentil.

Kemungkinan krisis ekonomi bisa saja terjadi akibat pandemi yang berkepanjangan, mengingat sampai saat ini belum ditemukan obat penangkal mujarab.

Sebaliknya, ada baiknya kita tidak semata-mata menggantungkan kepada stimulus itu dan mulai belajar beradaptasi dengan kemungkinan timbulnya krisis ekonomi.

Bagi mereka yang hidup pada tahun 70-an barangkali sempat mengalami hidup prihatin, menyiasati sulitnya kondisi ekonomi waktu itu.

Saya teringat, beberapa langkah pengetatan ikat pinggang, antara lain:

  1. Makan berlauk seperempat telur, entah dari sebutir telur rebus dibagi empat atau sebutir dikocok bersama tepung lalu digoreng lalu dibagi banyak. Bisa juga dengan sekerat tempe atau tahu goreng dibubuhi kecap. Makan di luar adalah kemewahan yang dirayakan sebulan sekali.
  2. Langkah lain yang dapat dicontoh adalah pemanfaatan pangan lokal alternatif seperti, nasi jagung, ubi, singkong dan lain-lain dengan olahan variatif, serta mengurangi mengonsumsi makanan impor atau berbasis bahan impor. Secara tidak langsung, perilaku ini akan mendorong berkembangnya industri pangan, pertanian dan peternakan domestik.
  3. Langkah-langkah berikutnya adalah, mengkreasi mainan yang bukan didapat dari membeli, menggunakan pakaian bekas kakak atau anggota keluarga lebih besar yang layak pakai, dan seterusnya.

Memang beberapa bahan baku utama suatu produk masih impor, namun bukan berarti tidak bisa diperoleh dari dalam negeri. Misalnya tempe-tahu.

Terinformasi bahwa bahan baku tempe-tahu, kedelai lokal tersingkir oleh kedelai impor karena syahwat oknum tertentu (tahun 1980-an) untuk mengimpor komoditas tersebut. Hal itu menyebabkan petani enggan menanam kedelai, kecuali sebagai tanaman sela.

Industri gula domestik yang malas berproduksi juga bisa dicambuk agar lebih efisien sehingga produksinya mencukupi konsumsi dalam negeri.

Baca juga: Penolokukuran dan Enigma Industri Gula

Barangkali akan banyak contoh lain yang bisa dielaborasi, tetapi intinya adalah: dalam masa krisis ekonomi, bila jeli, akan menumbuhkan industri domestik, yang sebelumnya dimanjakan oleh zona nyaman keserba-adaan yang telah disediakan oleh pelaku ekonomi asing.

Tumbuh dan berkembangnya industri domestik itulah hikmah, atau blessing in disguise, yang diharapkan muncul di balik ancaman krisis ekonomi akibat pandemi covid-19 yang berkepanjangan.

Meskipun depresi atau krisis besar yang akan menimpa perekonomian dunia masih berupa perkiraan, ada baiknya mengantisipasinya dengan gagasan-gagasan kreatif yang mendorong industri dalam negeri dan agar warga tidak melulu tergantung pada stimulus yang diberikan pemerintah.

Tetapi yang terpenting saat ini adalah, bersama-sama memutus mata rantai penyebaran wabah dan berdoa agar bencana covid-19 segera berakhir.

Sumber bacaan: 1, 2 dan 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun